Saturday, September 08, 2007

MENAPAKI PENDIDIKAN, MERANGKUL PERDAGANGAN DAN INDUSTRI

Aku jadi teringat kala rumah-rumah itu diratakan dengan bulldozer, banyak teriakan, dan makian yang mengiringi mobil monster itu, bahkan isak tangis pun meramaikan suasana kala itu. Bagaimana tidak! Rumah yang sudah puluhan tahun mereka tempati harus diluluhlantakan hanya untuk mendirikan mall semata. Meskipun demikian, anehnya, minat warga terhadap pendirian mall tersebut cukup besar.

Demikianlah Ely Yulita menggambarkan pembangunan pusat pertokoan yang kontroversial dalam cerita pendek Change My Country dalam Buklet Cerpen Perempuan Istimewa. Sebuah prosa yang berkisah tentang sisi lain modernitas Kota Rangkasbitung yang banyak menimbulkan dampak negatif dalam sisi moral.
Entah. Inikah wujud sebuah kemandirian? Transformasi yang berfokus pada modernisasi menyelimuti hampir seluruh daerah di Indonesia. Pembangunan di berbagai bidang dilakukan oleh daerah-daerah sebagai jawaban atas penerapan otonomi daerah. Bahkan, beberapa daerah berani memasarkan dirinya sendiri melalui pembentukan city branding. Salah satu contohnya, kota Jogjakarta yang memasarkan dirinya dengan merek “Jogja Never Ending Asia”.
Dengan menawarkan potensi yang dimiliki, berbagai daerah berlomba menarik investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Para investor tersebut diharapkan, dapat membantu pemerintah daerah dalam memajukan daerahnya. Maka tak jarang pemerintah daerah saat ini menerapkan perizinan satu atap (one stop service) untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi sebagai upaya membuka pintu investasi selebar-lebarnya. Tak hanya itu, pemerintah daerah pun berupaya bersikap business friendly terhadap dunia usaha dan lebih mengedepankan pentingnya jumlah investasi yang masuk, yang pada akhirnya akan menambah pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pun demikian dengan Kota Malang. Pembangunan kian marak menghiasi wajah kota Malang. Kini, ia telah menjelma menjadi remaja yang beranjak dewasa dan sedang mencari jati diri melalui sebuah kemandirian. Kemanakah ia melangkah sekarang?

Kota Malang di Era Otonomi Daerah
Berawal dari penerapan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak tahun 2001. Kedua Undang-undang tersebut, menandai adanya pergeseran pola manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik. Hal ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing. Karena, pemerintah daerahlah yang paling tahu tentang kebutuhan daerahnya.
Ir. Bachiar Ismail, Ketua Badan Perencanaan Kota (Bappeko) Malang mengungkapkan bahwa pembangunan Kota Malang saat ini telah sesuai dengan visi dan misi Kota Malang. “Kami dari pihak Bappeko melakukan pembangunan, sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kota Malang, yaitu Malang yang mandiri, sejahtera, dan berwawasan lingkungan,” ungkapnya.
Dalam situs Pemerintah Kota Malang (http:/www.malang.go.id) dipaparkan, bahwa kota Malang yang mandiri berarti mampu membiayai sendiri seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan segala sumber daya lokal (sumber daya alam, potensi daerah dan sumber daya manusia yang dimiliki). Sedangkan kota Malang yang sejahtera artinya, pelaksanaan pembangunan semuanya diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kota, baik secara material maupun spiritual. Dan kota Malang yang berwawasan lingkungan berarti bahwa pelaksanaan pembangunan tetap berupaya menjaga kelestarian alam dan kualitas lingkungan serta permukiman kota Malang.
Walikota Malang, Drs. Peni Suparto menambahkan, bahwa pembangunan kota Malang tidak lepas dari program pembangunan nasional. “Program pembangunan nasional memprioritaskan pengentasan kemiskinan. Lalu, ada penelitian tentang orang miskin oleh lembaga internasional maupun lembaga nasional yang menyatakan bahwa orang miskin itu karena kualitas SDM rendah, sehingga pengentasan kemiskinan menempatkan prioritas pada sektor pendidikan,” ujarnya. Penempatan sektor pendidikan pada prioritas utama pembangunan kota Malang diakui telah diwujudkan. Bactiar mengungkapkan bahwa banyak hal telah dilakukan untuk pengembangan pendidikan. “Contohnya kami telah mendirikan sekolah model di daerah Lowokwaru. Sekarang kami juga lebih banyak membangun SMK karena sektor pendidikan Kota Malang lebih diarahkan pada ketrampilan. Makanya target kami jumlah SMK lebih banyak dibandingkan SMU,” tuturnya.
Walaupun demikian, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang untuk tahun ini masih dibawah Undang-Undang (UU). ”Kalau pendidikan di UU kan harus 20 persen, kita sudah mendekati ini, sekitar 15 persen,” ujar Dr. Bambang Satriya, Wakil Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang. Menurut Bambang, alokasi anggaran ini sangat tergantung dengan kemampuan APBD dari masing-masing daerah. Ia mengakui saat ini kota Malang mampu pada tingkat 15 persen.
Di samping itu, fokus pembangunan kota Malang tak hanya mandek pada sektor pendidikan. Bambang menuturkan bahwa sektor lainnya juga perlu digarap. “Pendidikan tetap digarap tapi sektor lain juga kita bangun” ujaranya. Peni pun mengungkapkan hal yang senada. Meskipun prioritas pembangunan kota Malang pada sektor pendidikan, sektor pariwisata dan industri tetap digarap. Ketiga sektor ini berjalan sesuai dengan landasan pembangunan Kota Malang, Tri Bina Cita. “Pendidikan menjadi prioritas utama sesuai dengan program pembangunan nasional, tetapi sektor lain juga tidak boleh mandek. Sektor wisata digerakkan, sektor industri juga digerakkan. Semua berjalan bersama-sama,” ujar pria kelahiran 14 Agustus 1947 ini.
Namun anehnya, kondisi saat ini tidak menyiratkan hal demikian. Pergerakan modernisasi kota Malang lebih banyak menekankan pada sektor perdagangan. Hal ini seakan-akan bertentangan dengan rencana dan landasan pembangunan Kota Malang sendiri. “Terdapat pergeseran pada kebijakan pemerintah dimana pemerintah tidak lagi konsekuen dengan Tri Bina Cita. Saya heran, hampir disetiap sudut, muncul ruko-ruko baru. Saya nggak ngerti pemerintah itu maunya apa,” demikian tutur Dr. M. Khusaini, ekonom dari Universitas Brawijaya.

Berpaling ke Perdagangan
Tak dapat dipungkiri, kota Malang memang memiliki potensi yang khas. Banyak para wisatawan menjadikan kota ini sebagai tempat singgah dan sekaligus tempat belanja. Ekonomi perdagangan di kota ini pun tergolong cukup besar. Terbukti Malang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan warga, melainkan juga masyarakat sekitarnya seperti dari Blitar, Kediri, dan Tulungagung. Hal ini membuat sektor perdagangan mampu mengubah konsep pariwisata kota Malang dari kota peristirahatan menjadi kota wisata belanja.
Dengan potensi yang demikian, Kota Malang menjadi lahan yang sangat potensial untuk kegiatan bisnis. Maka bukan hal yang mengherankan lagi, jika kota ini mampu menarik perhatian tersendiri bagi kaum investor.
Menurut Khusaini, selama ini kebanyakan investor yang menanamkan modalnya di Malang menganggap pembangunan real estate dan ruko lebih menguntungkan. Oleh sebab itu, kini sektor perdagangan lebih banyak digarap oleh investor.
Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) Kota Malang pun menunjukkan hubungan yang selaras dengan hal ini. Terbukti laju pertumbuhan sektor pedagangan, hotel dan restoran paling besar diantara sektor lainnya. Pada tahun 2003 tercatat laju pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran berada pada tingkat 5,21 persen. Sedangkan pada tahun 2004 laju pertumbuhannya meningkat menjadi 7,11 persen. Hal ini dapat menjadi parameter pesatnya perkembangan sektor perdagangan kota Malang saat ini.
Menanggapi hal tersebut, Dra. Penny Indriani, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Malang menjelaskan bahwa maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan saat ini dimaksudkan untuk membantu Usaha Kecil Menengah (UKM). Dengan munculnya pusat-pusat perbelanjaan baru diharapkan dapat membantu pemasaran dari UKM kecil. “Hal ini akan membuat daya tarik yang lebih baik dari UKM itu sendiri. Lagi pula pusat-pusat perbelanjaan dapat menarik pengunjung, khususnya wisatawan domestik ke kota Malang,” ungkapnya.
Sayangnya, hingga saat ini masih banyak pengrajin-pengrajin kota Malang mengeluhkan kesulitan dalam memasarkan produknya. Salah satu contohnya para pengrajin gerabah dan keramik di daerah Panjaitan mengakui mengalami penurunan penjualan. “Dulu di daerah ini (sepanjang Jalan Panjaitan, red) banyak kerajinan. Tapi sekitar tahun 2003 bangkrut karena nggak laku. Hal ini disebabkan pemasarannya yang sulit,” tutur M. Atim, salah satu pengrajin gerabah.
Kenyataan di lapangan juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang “mesra” antara para pedagang besar dengan para pengrajin. Di berbagai mall kota Malang masih jarang ditemui UKM kecil. Para pedagang besar yang memiliki modal banyak lebih mendominasi outlet-outlet mall.
“Di sini cuma tempat untuk selling, that’s it. Nggak ada yang lain. Kalau kita bisa bantu dengan kebijakan juga nggak mungkin bisa. Ini adalah tempat untuk jual beli artinya kita hanya menyediakan lahan untuk jual beli,” demikian tanggapan Suwanto S.Sos, Tenant Relation dan Customer Service Supervisor Malang Town Square (Matos) ketika ditanyai mengenai hal ini. Kenyataan tersebut menyiratkan pembangunan fasilitas-fasilitas perbelanjaan kota Malang saat ini masih belum efektif.

Geertz dan Kuznets
Perkembangan sektor perdagangan kota Malang yang cukup pesat saat ini sudah lama menjadi buah bibir di berbagai kalangan. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Sayangnya, buah bibir yang kontroversial ini belum juga menemukan titik kompromis.
Tak hanya disinyalir kurang kooperatif dengan para UKM kecil, beberapa kalangan memandang perkembangan sektor perdagangan yang mengarah pada pertumbuhan bangunan, baik pertokoan maupun perumahan menimbulkan dampak negatif lainnya. Salah satu contoh berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) di kota Malang. Seperti yang diungkapkan dalam artikel Budi Sugiarto, mantan Kepala Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, yang berjudul “Pembangunan di Kota Malang mulai tidak seimbang”, di rubrik Kompas Jatim. Dalam artikel tersebut, Budi mengungkapkan bahwa pada tahun 2000 total luas lahan terbangun sebesar 6.505,4 ha sedangkan total lahan seluruhnya seluas 11.005,7 ha. Sebanyak 40 persen lahan di Malang telah menjadi lahan terbangun, 24 persen tegal, 22 persen sawah, sembilan persen untuk lain-lain, dan lima persen berupa tanah kosong (
http://www.kompas.com/).
Bahkan situs Tempo Interaktif memaparkan bahwa pada tahun 2004 RTH di kota Malang hanya tinggal empat persen. “Ini sudah di ambang batas dan menyalahi aturan pemerintah. PP No. 63/2002 menggariskan luas RTH itu minimal 10 persen dari luas wilayah masing-masing kabupaten/ kota,” kata Kurniawan, Humas Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Kota Malang (
http://www.tempointeraktif.com/).
Tidak hanya itu, sejumlah taman kota di Malang telah hilang. Beberapa taman yang diidentifikasi hilang antara lain taman di barat kantor Dinas Pendidikan kota Malang yang beralih fungsi menjadi rumah- toko, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Taman di pertigaan kawasan Mergan pun berubah menjadi SPBU, serta Taman Indrakila di belakang Museum Brawijaya yang berganti menjadi perumahan mewah (
http://www.kompas.com/).
Dengan berkurangnya taman kota dan RTH saat ini dapat menyebabkan terjadi banjir di beberapa wilayah. Kondisi ini sangat bertentangan dengan salah satu visi kota Malang, yaitu berwawasan lingkungan.
Kuznets, seorang ekonom yang meraih nobel, memandang bahwa pembangunan yang tanpa memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan hanya akan menciptakan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam beberapa periode sebelumnya justru akan dapat terkikis oleh dampak-dampak negatif dari pertumbuhan itu sendiri. Analisis Kuznets ini secara teoritis diungkapkan dalam teori Environmental Kuznets Curve (EKC). Dalam teori tersebut ditemukan bahwa seiring dengan perjalanan waktu kegiatan industri di negara berkembang kerap kali merusak kelestarian alam dan lingkungan. Sebaliknya, di negara maju, semakin berkembang kegiatan industri, maka kelestarian lingkungan hidup semakin bisa dijamin keberadaannya.
Gejala ini pun nampak di kota Malang. Perkembangan pembangunan kota Malang ternyata menimbulkan dampak-dampak negatif. Padahal kota Malang telah memiliki banyak peraturan daerah mengenai lingkungan hidup dan tata ruang kota. Peraturan Daerah nomor 14 tahun 2001 mengenai bahan beracun dan berbahaya, Peraturan Daerah nomor 15 tahun 2001 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Peraturan Daerah nomor 16/2001 mengenai pengendalian pencemaran air, Peraturan Daerah nomor 17 tahun 2001 mengenai konservasi air, Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2001 mengenai RTRW dan Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan bangunan. Semua peraturan ini ditujukan untuk mewujudkan kota Malang yang berwawasan lingkungan.
Hal tersebut menimbulkan suatu kondisi dilematis bagi berbagai pihak, baik pemerintah daerah (Pemda), DPRD, akademisi dan masyarakat. Pembangunan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hanya akan bersifat sementara bila lingkungan sekitarnya tidak memberikan dukungan optimal.
Namun, permasalahan pertumbuhan bangunan di kota Malang ternyata lebih kompleks. Tidak hanya berkutat pada terkikisnya RTH yang dapat menyebabkan banjir, tetapi juga menimbulkan permasalahan pada tata ruang kota.
Banyak kalangan menilai pembangunan fasilitas-fasilitas perbelanjaan di kota Malang tidak lagi sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Suwanto mengakui bahwa pada awalnya banyak pihak yang kurang setuju dengan rencana pembangunan Matos karena lokasinya yang bertepatan dengan wilayah pendidikan. “Tetapi kita cenderung melihat efek positif ke depannya. Gimana masyarakat tidak tertumpuk di pusat kota, perputaran uang terjadi di sini dan juga membantu masyarakat di sekitar sini,” ujar pria yang akrab disapa Wanto. Ketika ditanyai alasan memilih wilayah pendidikan, Wanto mengungkapkan bahwa developer Matos menilai wilayah tersebut memiliki peluang bisnis yang bagus, terlepas apakah lahan hijau (daerah pendidikan) atau tidak.
Dengan kenyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri lagi jika RTRW kota Malang bersifat “fleksibel”. Bahkan terdapat rumor yang mengatakan fleksibelnya RTRW Kota Malang sarat dengan kepentingan politik.
Menanggapi hal tersebut, Peni membantah adanya kepentingan politik. “Perubahan RTRW harus mendapatkan persetujuan dari DPRD. Kalau DPRD setuju berarti rakyat setuju. Nggak ada yang menyimpang,” ujarnya.
Berbeda dengan Peni, Nusul menuturkan bahwa peraturan atau UU merupakan produk kompromi politik dimana memang terdapat kepentingan politik di dalamnya. Sejalan dengan Nusul, Bambang mengakui bahwa seluruh pembangunan bernuansa politis karena ditetapkan oleh orang-orang politik. “Semua pembangunan bernuansa politis tapi dalam tanda kutip untuk meningkatkan perekonomian kerakyatan,” ungkap mantan Ketua Komisi B DPRD kota Malang ini.
Menanggapi hal tersebut, Khusaini mengungkapkan bahwa permasalahan tata ruang kota memang tidak menjadi permasalahan yang besar bila dilihat dari kacamata pertumbuhan ekonomi. Namun, yang harus diperhatikan bagaimana sektor perdagangan ini bersinergi dengan sektor lainnya. “Sektor perdagangan dan retail itu kan cukup besar di Malang. Nah, ini sebenarnya tidak begitu sehat kalau penataannya itu tidak tepat,” ungkap Khusaini.
Penataan ruang kota yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak jangka pendek dan jangka panjang bagi perkembangan kota itu sendiri. Khusaini mencontohkan pembangunan Matos. Dalam jangka pendek pembangunan Matos ternyata menimbulkan social cost bagi masyarakat. Salah satu contohnya, kemacetan yang sering terjadi di sekitar Matos. Pusat-pusat perbelanjaan lainnya juga terkena imbasnya. Contohnya toko-toko kecil di Pecinan dan pusat perbelanjaan di alun-alun yang mulai sepi. Bahkan saat ini omzet dari Mitra, salah satu mall di kota Malang, semakin berkurang. “Jadi sekarang kecenderungannya mengarah pada model kanibal, yang besar akan makan yang kecil. Ini sebenarnya tidak seharusnya terjadi. Pemerintah boleh mengembangkan perdagangan, nggak masalah. Cuma perdagangan itu jangan menimbulkan efek-efek negatif bagi sektor lain,” ujarnya.
Sedangkan dalam jangka panjang, Khusaini mengungkapkan bahwa hal ini akan berdampak negatif bagi perkembangan makro perekonomian kota Malang. Dengan melakukan pembangunan hanya pada daerah-daerah pusat pertumbuhan, mengakibatkan daerah lain yang belum menjadi pusat pertumbuhan tidak akan pernah digarap. “Justru yang bagus itu, membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah yang belum tumbuh, tapi syaratnya pemerintah harus menyediakan infrastruktur ke sana. Sehingga walaupun jauh, orang pasti ke sana karena nggak sulit aksesnya,” tutur pria lulusan Georgia State University.
Sebuah penataan ruang kota sebenarnya dibentuk untuk menjaga keserasian dan keseimbangan antara pembangunan yang dilakukan dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dipaparkan oleh DR. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi dalam acara Diseminasi dan Diskusi Program-Program Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah. Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, ruang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang perlu dipelihara kelestariannya. Untuk itu, diperlukan pendekatan wilayah sebagai strategi pengembangan ruang yang mengatur hubungan yang harmonis antara sumber daya alam, buatan, dan manusia agar kinerja ruang meningkat untuk kesejahteraan masyarakat.
Penataan ruang kota Malang pun seharusnya demikian. Tata ruang kota Malang sebaiknya lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakatnya. Bukan membentuk penataan ruang yang mengarah pada model kanibal.
Dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, Pemkot Malang sebaiknya mengembangkan pembangunan yang sesuai dengan perilaku masyarakatnya. Hal ini berpijak pada teori model of and model for yang dicetuskan oleh Cliffort Geertz. Dalam teori tersebut Geertz berpendapat bahwa model of, membantu orang memahami apa dasar dari realitas yang sebenarnya dengan menyediakan penggambaran tentang realitas yang dapat dipahami, dan model for, memiliki fungsi untuk mendiktekan tindakan manusia dengan menyediakan denah (blueprint) tentang bagaimana semestinya sesuatu dilakukan. Berdasarkan teori tersebut dalam melakukan pembangunan kota, Pemkot seharusnya mempertimbangkan model of dan model for dari masyarakatnya. Pembangunan yang dilakukan seharusnya benar-benar mencerminkan perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, jika Pemkot Malang mengembangkan sektor perdagangan, hal itu harus sejalan dengan perilaku masyarakat Malang yang konsumtif.
Sayangnya, data dari BPS kota Malang menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran masyarakat kota Malang belum mencerminkan masyarakat yang konsumtif. Pada tahun 2004 tercatat kelompok pengeluaran perkapita/bulan Rp 200.000-299.999 mencapai persentase tertinggi sebesar 34,91%. Sedangkan kelompok pengeluaran perkapita/bulan lebih dari Rp 500.000 hanya mencapai 11,11 persen. Kondisi ini kurang seimbang dengan laju pertumbuhan sektor perdagangan yang cukup besar.

Lalu, bagaimana sekarang?
Memang cukup sulit untuk mengembangkan pembangunan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan sekitar. Kerjasama dari berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam hal ini. Nusul pun berpendapat demikian. “Kalau berbicara mengenai lingkungan hidup sebenarnya bukan cuma untuk pemerintah tapi punya kita semua,” ujarnya.
Saat ini masih banyak perbaikan yang harus dilakukan. Nusul mengungkapkan, tahun depan Wasbandal berencana menerapkan pengenaan denda terhadap pembuangan sampah sembarangan di daerah-daerah tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian dan kebersihan Kota Malang. Di sisi lain, Suwanto pun menuturkan bahwa untuk menanggulangi social cost yang ditimbulkan, pihaknya berencana untuk menambah lahan parkir Matos dan membuat jalan tembus. Tidak hanya itu, mereka juga menyelenggarakan pasar subuh untuk menyediakan lahan bagi para pedagang kecil dalam menjajakan barangnya.
Walaupun demikian, peran lebih dari pemerintah juga sangat dibutuhkan. Keputusan yang diambil oleh Pemkot saat ini cenderung lebih mementingkan banyaknya investasi yang masuk tanpa diimbangi oleh upaya menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan kondisi sekarang, kebanyakan penanam modal bergerak pada sektor perdagangan. Hal ini secara otomatis akan memacu pertumbuhan fasilitas-fasilitas perbelanjaan yang cukup pesat. Namun, apakah pesatnya pembangunan sektor perdagangan saat ini merupakan jalan yang tepat dalam memajukan perekonomian kota Malang?
Prof. Dr. A. Mukhadis, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Negeri Malang (LP3-UM) mengungkapkan bahwa seharusnya prioritas utama pembangunan kota Malang adalah sektor pendidikan. Sedangkan sektor industri, perdagangan, dan sektor lainnya menjadi laboratorium bagi pendidikan.
Sebagai kota pendidikan internasional, Malang memang seharusnya lebih menitikberatkan prioritas pembangunan pada sektor pendidikan. Hal ini didukung oleh ketertarikan masyarakat untuk memilih Malang sebagai kota tujuan menuntut ilmu. Seperti yang diungkapkan Pembantu Direktur I Politeknik Negeri Malang, Luchis Rubianto dalam surat kabar Surya. Kondisi ruwetnya lalu lntas Surabaya-Malang karena dampak Lapindo tidak mengurangi daya tarik kota Malang sebagai tempat tujuan belajar. “Apalagi suasana belajar dan kondisi alam wilayah Malang yang lebih sejuk sehingga cukup menunjang bagi mereka yang ingin kuliah di Malang,” terangnya.
Sayangnya, respon positif ini belum dapat ditanggapi dengan baik oleh Pemkot. Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBD belum mencapai 20 persen. Maka tak heran, penyediaan gedung-gedung maupun fasilitas pendidikan yang representatif bagi penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional belum memadai hingga saat ini. Ironisnya, julukan kota pendidikan internasional sudah cukup lama disandang oleh Kota Malang.
Khusaini pun menambahkan bahwa sebenarnya sektor pendidikan memberikan multiplier effect terhadap sektor yang lain. Salah satu contohnya sektor perdagangan. “Menjamurnya kost, ruko, real state di Malang disebabkan oleh sektor pendidikan. Artinya sebenarnya sektor pendidikan juga bagus untuk dikembangkan. Cuma hal itu tidak nampak secara langsung pada kontribusi sektoral di PDRB. Walaupun sebenarnya terdapat multiplier effect dari segi perekonomian,” terangnya.
Dengan demikian, pengembangan sektor pendidikan seharusnya menempati prioritas utama dalam pembangunan kota Malang. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai fasilitator dan penyedia anggaran bagi penyediaan fasilitas publik pada sektor pendidikan sangat diperlukan. Semuanya ini diarahkan untuk mewujudkan kota Malang sebagai kota pendidikan.
Namun, sektor pendidikan jelas tidak dapat berdiri sendiri. Sektor ini memerlukan supporting sector, yaitu industri dan perdagangan. Sektor industri dan perdagangan dapat menjadi pendukung bagi sektor pendidikan dalam penyediaan lapangan usaha. Pembangunan industri serta pusat-pusat perbelanjaan baru diharapkan menjadi penyedia berbagai kebutuhan yang muncul sebagai akibat dari adanya sektor pendidikan dan bukan sebaliknya.
Mengenai bagaimana pengemasan sektor-sektor tersebut, Khusaini menjelaskan bahwa masing-masing sektor tidak harus saling dibenturkan. “Misalkan pemerintah membangun Matos di tengah-tengah kampus, itu sama dengan membenturkan. Jadi, kalau kita mengembangkan sebuah sektor seharusnya pada tempat atau posisi yang benar. Jangan menggusur sektor yang sudah ada atau jangan menimbulkan peluang menggusur sektor yang sudah ada. The right sector in the right place,” ujarnya.
Penataan yang tepat pada semua sektor memang sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar dalam perkembangan seluruh sektor dapat berjalan bersama-sama dan saling mendukung. Dan pada akhirnya, sektor-sektor tersebut dapat menunjang kesejahteraan masyarakat kota Malang.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro pun mengungkapkan bahwa hal yang paling penting dalam pembangunan ekonomi daerah adalah dampak dari pembangunan ekonomi itu sendiri terhadap masyarakat lokal. Hal tersebut nyata dalam bentuk bertumbuhnya output perekonomian, penciptaan lapangan kerja baru dalam jumlah besar, serta perbaikan pendapatan masyarakat secara signifikan. Menurut Bambang, dengan tidak menjadikan APBD sebagai “panglima” pembangunan ekonomi daerah, upaya kepala daerah menerapkan good governance pun menjadi lebih mudah. Sebab, APBD akhirnya diarahkan untuk sebesar-besarnya manfaat masyarakat lokal dalam bentuk pelayanan publik yang memadai (
http://www.wartaekonomi.com/).
Khusaini juga mengungkapkan hal yang senada. Ia menuturkan bahwa kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan PAD ataupun PDRB. “Kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana sih meningkatkan PAD dan PDRB. Tapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan sosial. Artinya mengembangkan sektor apapun, dampaknya harus diperhatikan sehingga gak ngawur karena ada efek-efek cost. Dalam sektor publik harus ada cost and benefit analysis,” tutup Khusaini.

No comments: