Kondisi perekonomian global yang rapuh dengan sistem finansialnya yang tidak berfungsi baik, menempatkan negara-negara berkembang pada posisi yang rentan untuk terseret ke dalam krisis seperti yang dialami sejumlah negara Asia tahun 1997-1998. Belum berakhir sepenuhnya krisis finansial Asia dan Rusia, krisis ekonomi kembali menimpa Turki dan sejumlah negara Amerika Latin yang 20 tahun lalu juga mengalami krisis serupa dan selama satu dekade.
Krisis utang Amerika Latin dimulai dari Ekuador. Negara ini gagal memenuhi kewajiban (default) atas surat utang Brady Bonds yang jatuh tempo tahun 1999. Kemudian diikuti Argentina yang default pada Desember 2001, lalu Uruguay dan Brasil pada Juli 2002. Data Komite Pembangunan (Development Committee) Bank Dunia menyebutkan arus penanaman modal langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI atau Penanaman Modal Asing/PMA) secara neto ke Amerika Latin anjlok hingga 24 persen pada paruh pertama tahun 2002 saja.
Berbeda dengan Amerika Latin, sejak dua dasawarsa yang lalu, Asia Timur telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik serta daya maju yang dikagumi. Keadaan ini membuat beberapa negara yang dulu ekonominya miskin bertukar menjadi kuat serta bertambah maju. Kemajuan negara-negara tersebut memunculkan 'Harimau Asia' seperti negara Korea, Taiwan, Singapura dan Hong Kong (China). Kebangkitan negara-negara Asia Timur lainnya juga mengalami pertumbuhan yang menakjubkan seperti China, Thailand, Malaysia dan juga Indonesia. Tetapi semenjak Juli 1997, negara-negara ini mengalami kejatuhan nilai mata uang dan meredup di Bursa-Bursa saham yang ternama. Kejadian ini dikenal dengan nama krisis finansial Asia (Krisis mata uang Asia).
Krisis finansial Asia adalah krisis ekonomi yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis ini. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh oleh kejadian ini.
Hingga tahun 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan. Seiring berjalan waktu, kualitas portofolio kredit dari lembaga-lembaga keuangan di negara-negara tersebut menjadi buruk, sementara sektor dunia usaha juga terjerat beban utang sangat berat sehingga secara finansial kondisinya juga menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya shock.
Dilatarbelakangi oleh kejadian krisis di Amerika Selatan investor Barat kemudian kehilangan kepercayaan pada keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya. Menurut Berg dan Pattillo, kelemahan di sektor finansial dan korporasi ini merupakan satu-satunya alasan bagi negara-negara Asia terkena imbas krisis finansial tahun 1997. Krisis ini terjadi dengan cepat dan menyebar dari satu negara ke negara lain. Karena investor ketakutan investasinya akan terpukul maka mereka berlomba-lomba menarik dananya. Krisis Asia ini menyumbangkan krisis ke Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara Asia Timur maupun Amerika Latin menimbulkan dampak yang cukup parah. Perkembangan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama menjadi penurunan tajam, inflasi yang relatif terkendali menjadi hiperinflasi, dan larinya modal asing dalam jumlah besar, menyebabkan tingkat pengangguran menjadi sangat tinggi, jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat drastis, jumlah anak yang putus sekolah meningkat drastis, kejahatan meningkat tinggi dan banyak lagi dislokasi sosial dalam intensitas yang tinggi.
Krisis Ekonomi di Thailand
Dari 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Ekonomi Thailand bergantung pada ekspor, dengan nilai ekspor sekitar 60% PDB. Tenaga kerja dan sumber daya yang lumayan banyak, konsevatis fiskal, kebijakan investasi asing terbuka, dan pendorongan sektor swasta merupakan dasar dari kesuksesan ekonomi Thailand.
Sebelum krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan domestik Thailand berlomba-lomba mendapatkan pinjaman dari luar negeri terutama mata uang US Dollar. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut, pinjaman dari luar negeri dirasa sangat menguntungkan. Pertama karena suku bunga US Dollar lebih rendah dari pinjaman baht, dan kedua mereka merasa tidak akan ada risiko selisih kurs (karena pemerintah Thailand mematok mata uang baht terhadap US Dollar). Akibat dari kondisi ini Thailand dibanjiri oleh hutang-hutang dalam US Dollar. Kondisi ini bukanlah kondisi yang sehat, karena mudahnya perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh dana dari luar negeri tidak diimbangi dengan kemampuan menghasilkan output yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Dana-dana luar tersebut banyak yang diinvestasikan pada sektor-sektor yang tingkat pengembaliannya jauh dari yang diharapkan, seperti sektor properti. Pada titik tertentu, kondisi ini tidak bisa dipertahankan lagi dan kepercayaan pada ekonomi Thailand mulai runtuh. Akibatnya investor mulai menarik dana mereka dari Thailand dan mengakibatkan US Dollar menjadi langka dan sangat mahal. Mahalnya US Dollar menyebabkan pemerintah Thailand tidak kuat lagi mematok baht pada kurs tertentu terhadap US Dollar.
Pada 14 May dan 15 May 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 milyar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 milyar dolar AS.
Membengkaknya defisit Neraca Transaksi Berjalan terhadap PDB dan menurunnya cadangan devisa merupakan faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Thailand. Kepulihan Thailand dari Krisis Finansial Asia pada 1997-1998 banyak bergantung pada permintaan luar dari Amerika Serikat dan pasar asing lainnya.
Pemerintahan Thaksin yang mulai menjabat pada Februari 2001 menstimulasi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Thailand kepada perdagangan dan investasi asing. Sejak itu, administrasi Thaksin telah memperbaiki ekonomi Thailand dengan mengambil ekonomi "jalur ganda" yang menggabungkan stimulan domestik dengan promosi tradisional Thailand tentang pasar terbuka dan investasi asing. Ekspor yang lemah menahan pertumbuhan PDB pada 2001 hingga 1,9%. Namun, pada tahun 2002 ekspor kembali menambah performa yang semakin baik dengan pertumbuhan PDB pada 5,3% dan 6,3%.
Krisis Ekonomi di Brasil
Sama halnya dengan Thailand, Brasil pun tak pelak dari krisis ekonomi. Munculnya kerawanan dalam perekonomian dalam negeri, menyebabkan posisinya rentan terhadap kemungkinan serangan spekulan. Kerawanan itu meliputi membengkaknya defisit neraca transaksi berjalan (current account) akibat mata uang yang overvalue serta kebijakan manajemen utang yang sembrono sebelum krisis. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi utang jangka pendek dalam dollar AS yang sangat besar. Selain itu, ekspansi yang terlalu cepat dari sektor finansial dalam negeri selama masa boom juga menyebabkan buruknya kualitas portofolio kredit perbankan dan membuka potensi terjadinya devaluasi mata uang.
Nilai tukar mata uang real terhadap dollar AS pun jatuh, dari 2,33 menjadi 2,70. Suku bunga jangka pendek perbankan tinggi, 18,45 persen. Hal ini menyulitkan dunia usaha karena orang lebih senang menabung dibandingkan usaha. Akibatnya, banyak perusahaan bangkrut. Pendapatan kotor per kapita minus 0,7 dan inflasi tercatat 7,8 persen. Tingkat inflasi Brazil, rata-rata selama tahun 1997-2001 adalah 121.79 persen.
Hal ini mendorong peningkatan angka pengangguran. Tahun 1999, misalnya, angka pengangguran tercatat 7,5 persen. Kondisi politik Brasil pun menjadi tidak stabil. Angka kriminalitas boleh jadi kian meroket.
Krisis Ekonomi di Indonesia
Selama hampir tiga dekade dari tahun 1970 hingga pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia memperlihatkan stabilitas kinerja yang sangat baik. Bahkan pada tahun 1993, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia ke dalam klasifikasi “New Industrialized Economies” (NIEs), bersama dengan Malaysia dan Thailand. Produk Domestik Bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata 7 persen setahun dan inflasi terkendali pada tingkat dari sekitar US$ 100 tahun 1970 menjadi sebesar US$ 1.014 di tahun 1996 dan jumlah penduduk miskin menurun dari sekitar 60 persen menjadi 11 persen. Dalam tahun 1996, PDB riil bahkan masih tumbuh sekitar 8 persen. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Pada Juli 1997, Thailand mengambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Sepanjang tahun 1998, rupiah terdepresiasi dengan lebih dari 70 persen yang mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 dimana nilai tukar mencapai Rp. 14.700 per US$. Tahun 1997 PDB tumbuh sebesar 4,7 persen dan berkontraksi hingga minus 13,1 persen di tahun 1998. Inflasi yang hanya berkisar rata-rata 8,1 persen antara 1991-1996, pada tahun 1998 meningkat tajam menjadi 77,6 persen, yang sebagian besar berasal dari barang-barang yang diperdagangkan secara internasional. Setelah gagal menahan laju depresiasi rupiah, Bank Indonesia pada bulan Juli 1998 menaikan tingkat suku bunga SBI satu bulan hingga 70 persen. Pada tahun 1998, akibat permintaan domestik yang menurun tajam, impor barang konsumsi dan ekspor migas mengalami penurunan masing-masing dengan 34 persen dan 36 persen. Krisis ekonomi Indonesia mencapai titik puncak pada tahun 1998, yang ditandai oleh kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 13,1 persen.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Potret Indonesia menjadi sangat muram dimana kerusuhan terjadi di berbagai wilayah, dunia usaha kehilangan daya saing, dan pasar modal kehilangan daya tariknya.
Salah satu dampak utama dari krisis ekonomi di Indonesia adalah terjadinya begitu banyak perubahan mendasar dalam tatanan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang menentukan arah kehidupan bernegara, disatu sisi merupakan perubahan yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern, namun disisi lain memberikan kontribusi bagi kompleksitas permasalahan pemulihan ekonomi. Kontraksi perekonomian ini diikuti oleh pertumbuhan negatif hampir semua lapangan usaha. Sektor konstruksi mengalami kontraksi 36,44 persen disusul oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan dengan produksi terbesar terjadi pada industri berat seperti mesin-mesin, baja, otomotif, dan bahan konstruksi. Krisis ekonomi tersebut kemudian membuat Pemerintah memusatkan kebijakan program dan pendanaannya kepada Jaring Pengaman Sosial (JPS), restrukturisasi sektor moneter, dan rekapitulasi perbankan. Konsentrasi dana dan daya ini menyebabkan sektor produksi (barang dan jasa) seperti terabaikan walaupun kondisinya sama buruknya dengan sektor perbankan sebagai akibat bunga bank yang tinggi, kurs dolar yang fluktuatif, dan hutang korporasi jangka pendek.
Dampak krisis ekonomi terhadap sektor infrastruktur mengakibatkan posisi sektor infrastruktur dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, terjadi economic loses akibat fasilitas dan industri pelayanan sarana dan prasarana dasar tidak dapat menunjang pergerakan ekonomi yang efisien; di sisi lain, infrastruktur tersisih dari kebijakan alur utama (the mainstream of macro sectors).
Dalam dasawarsa terkahir pertumbuhan pada berbagai sektor infrastruktur mengalami gejolak yang normal hingga tahun 1997, terjadi penurunan atau peningkatan pertumbuhan namun tetap bernilai positif. Pada tahun 1998, sebagai dampak dari krisis nilai tukar yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, pertumbuhan sektor infrastruktur mengalami penurunan yang signifikan. Kecuali sektor listrik, gas dan air bersih yang masih tetap positif kontribusinya dalam total pertumbuhan yaitu sebesar 3,03 persen meski menurun dibanding tahun sebelumnya, sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi negatif sebesar 36,44 persen dan 15,13 persen. Daya beli masyarakat yang menurun secara umum mengakibatkan penurunan konsumsi pada sektor infrastruktur secara drastis kecuali pada infrastruktur yang merupakan basic needs seperti listrik, gas dan air bersih.
Krisis ekonomi menyebabkan transportasi dan komunikasi mengalami kontraksi sebesar 15,13 persen. Daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan angkutan udara kehilangan sekitar 40 persen penumpangnya dan berakibat pada dihapuskannya beberapa rute penerbangan. Angkutan darat mengalami kendala pada jaringan jalan nasional yang saat ini dalam kondisi kritis, bukan saja karena kurangnya dana, bahkan untuk rehabilitasi dan pemeliharaan, tetapi bahkan sebelum krisis, kualitas konstruksi jalan yang tidak optimal serta pembebanan muatan lebih (excessive overloading) telah menghacurkan investasi pemerintah dalam jaringan jalan nasional. Konstruksi jalan yang rusak sebelum waktu ekonominya habis menyebabkan kerugian biaya sosial yang amat besar bagi masyarakat. Kualitas dan kuantitas angkutan bus menurun dengan tajam, meningkatkan resiko dalam aspek keselamatan penumpangnya. Pada sektor angkutan laut, maskapai angkutan laut nasional mengalami kendala biaya perawatan dan operasional karena mahalnya suku cadang. Secara keseluruhan sektor transportasi terpukul oleh nilai tukar rupiah yang melemah sementara kewajiban keuangan dan alat-alat produksi harus dibayar menggunakan dolar.
Krisis ekonomi menyebabkan makin terpuruknya kondisi keuangan, operasional, dan manajemen perusahaan penerbangan nasional. Kenaikan drastis biaya operasional yang disebabkan oleh merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar terjadi akibat tingginya komponen dolar (sekitar 85 persen) dalam operasi penerbangan, sementara pendapatan jasa diperoleh dalam rupiah. Kondisi ini diperparah oleh buruknya manajemen perusahaan penerbangan bahkan jauh sebelum krisis terjadi. Sementara itu kondisi pelayaran nasional sudah terpuruk sejak sebelum krisis memukul perekonomian Indonesia. Defisit neraca berjalan Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh sektor jasa palayaran akibat sangat kecilnya peran perusahaan pelayaran nasional dalam angkutan barang internasional (hanya sekitar 3 persen) dan mulai mengecilkan peran dalam angkutan barang nasional (sekitar 53 persen).
Saat ini perekonomian Indonesia sedang berada pada masa pemulihan. Meskipun masih ada sektor-sektor yang belum pulih, secara umum indikator-indikator perkenomian Indonesia, seperti tingkat inflasi, IHSG, nilai tukar rupiah dan GDP sudah menunjukkan perbaikan. Usaha-usaha perbaikan di berbagai sektor telah dilakukan seperti pengurangan dominasi negara pada dunia usaha melalui privatisasi BUMN, dan penerapan standar-standar international seperti prinsip-prinsip Good Corporate Governance dan Risk Management pada dunia usaha.
Kesimpulan
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa krisis ekonomi di negara-negara berkembang dapat terjadi kembali. Hasil survei World Institute for Development Economics Research (WIDER) dengan sponsor PBB menyebutkan, selama tidak ada regulasi lebih ketat (termasuk untuk membatasi sepak terjang para spekulan) dan upaya-upaya lain untuk meredam dampak dari siklus naik-turun (boom and bust)-nya serta merosotnya arus modal global ke negara-negara berkembang, maka sulit mencegah terulangnya kembali krisis ekonomi seperti yang dialami sejumlah negara berkembang akhir-akhir ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment