Tuesday, December 11, 2007

MERGER BEJ-BES, LANGKAH AWAL MENGEJAR KETERTINGGALAN

Merger atau penggabungan usaha merupakan suatu bentuk aksi korporasi yang menjadi tren dunia saat ini. Semakin rendahnya cost yang dikeluarkan, akses informasi menjadi lebih mudah, likuiditas kian tinggi, dan pada gilirannya terpenuhinya ketersediaan akan produk investasi, seakan-akan memaksa para pelaku bisnis untuk melakukan aksi merger. Dalam beberapa tahun terakhir ini, bursa-bursa di dunia terus melakukan penggabungan dalam rangka efisiensi dan persiapan persaingan global. Salah satu contohnya negara tetangga kita, Malaysia yang menggabungkan Kuala Lumpur Stock Exchange dengan Kuala Lumpur Options and Financial Futures Exchange pada tahun 2004. Bahkan penggabungan bursa antarnegara juga terjadi pada September 2000. Tiga bursa besar di Eropa melakukan penggabungan yaitu Stock Exchange of Paris, Amsterdam dan Brussels menggabungkan diri membentuk Euronext (www.republika.com).
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Bursa Efek Indonesia (BEI) hasil merger Bursa Efek Surabaya (BES) dan Bursa Efek Jakarta (BEJ), ditargetkan menjadi bursa kelas dunia yang akan berperan sebagai salah satu pilar utama perekonomian Indonesia. Merger BEJ-BES merupakan salah satu agenda Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka demutualisasi pasar modal. Melalui penggabungan ini diharapkan efisiensi dan likuiditas transaksi saham di pasar modal semakin meningkat, sehingga bursa Indonesia memiliki daya saing (
www.investordaily.com).
Hingga saat ini perkembangan pasar modal di Indonesia tergolong masih lamban dan cenderung tertinggal dari kawasan Asia lainnya, baik dari segi jumlah emiten, produk investasi, investor lokal dan persaingan antar bursa di dalam negeri. Pada April 2006, nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia baru mencapai 100 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia 195 miliar dolar, Thailand 148 miliar dolar, Singapura 294 miliar dolar, Korea 752 miliar dolar dan Hong Kong 1,213 triliun dolar (www.republika.com). Kondisi ini mengharuskan terjadinya merger dalam tubuh bursa Indonesia.
Selain alasan perkembangan pasar modal yang lamban, terdapat dua hal yang melatarbelakangi terjadinya merger BEJ-BES. Pertama, melalui merger diharapkan makin membuka peluang bagi perusahaan untuk terjun ke pasar modal (go public). Kondisi saat ini menunjukkan pasar sekunder BES belum seramai pasar sekunder yang ada di BEJ. Akibatnya beberapa emiten yang mencatatkan saham secara single listing di BES likuiditas sahamnya sangat rendah. Hal ini menyebabkan instrumen saham sebagai satu komoditas investasi yang memiliki karakteristik keuntungan berupa potensi dividen dan capital gain, menjadi tidak optimal. Para pemegang saham emiten yang tercatat di BES hanya berpeluang mendapatkan dividen saja, tidak dari capital gain (selisih harga jual dan harga beli) karena likuiditas pasar yang relatif rendah (www.republika.com).
Alasan kedua, mayoritas pemegang saham BEJ juga pemegang saham BES. Kepemilikan ganda untuk sebuah bursa yang sama, bagi pemegang saham menjadi tidak produktif. Akibat adanya kesan mendua, tentu akan sangat kontraproduktif bagi pengembangan bisnis. Setiap keputusan dan kebijakan yang diambil guna pengembangan bursa ke depan, menjadi tidak terarah dan setengah-setengah. Faktor ini tidak baik bagi kepentingan bisnis (
www.republika.com).
Perwujudan BEI menjadi bursa berkelas dunia ternyata tidak hanya sebatas wacana saja. Berbagai targetan mulai dibuat. Nilai kapitalisasi hasil penggabungan BEJ dan BES yang mencapai sekitar Rp 2.100 triliun, menyiratkan harapan dalam 2 sampai 3 tahun ke depan sumbangan nilai kapitalisasi pasar BEI terhadap Gross Domestic Product (GDP) bisa mencapai 100% dibanding saat ini yang mencapai 43-44% (
www.INNChannels.com). Tak hanya itu, sosialisasi ke perusahaan-perusahaan agar menggunakan pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan, telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah emiten dari 346 emiten menjadi 500 emiten (Kompas, 12/09/07).
Pengembangan pasar modal Indonesia melalui aksi merger ini tentu memberikan dampak positif bagi perekonomian bangsa. Ahmad (2004) menyebutkan bahwa pasar modal merupakan sarana pembentuk modal dan akumulasi dana yang diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengarahan dana guna menunjang pembiayaan pembangunan nasional. Hal ini jelas menunjukkan hubungan yang erat antara pasar modal dengan perekonomian bangsa. Dengan meningkatnya potensi yang ada dari sisi supply, yaitu calon emiten dan sisi demand, yaitu investor, kapitalisasi pasar untuk lebih besar sangat terbuka (www.republika.com). Pada gilirannya nilai kapitalisasi tersebut memberikan sumbangan yang besar bagi GDP.
Pelaksanaan merger BEJ-BES ini juga disinyalir akan dapat meningkatkan efesiensi kerja, baik dari segi operasional dan investasi, serta memberikan dampak positif bagi para pelaku pasar modal. Dilihat dari aspek operasional, keuntungan yang didapatkan dari merger adalah penghematan biaya operasional. Sedangkan dari sisi investasi, investor akan lebih mudah untuk melakukan pilihan investasi dalam satu organisasi.
Para pelaku pasar modal (emiten, anggota bursa dan investor) pun mendapat keuntungan dari penggabungan ini. Bagi emiten manfaat yang dapat diperoleh adalah penghematan biaya pencatatan tahunan. Sedangkan untuk anggota bursa memperoleh penghematan biaya keanggotaan yang wajib dibayarkan kepada kedua bursa dan biaya penyediaan line komunikasi yang dedicated untuk melakukan transaksi bursa yang multi produk. Sementara bagi investor manfaat yang dapat didapatkan meliputi penghematan biaya akses informasi dan memiliki berbagai macam pilihan instrumen investasi tanpa harus melalui bursa yang berbeda.
Berbagai kemudahan dan kian murahnya cost pasar modal yang ditawarkan oleh merger BEI diharapkan dapat menjadi ‘amunisi’ untuk mengejar ketertinggalan Indonesia. Amunisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan potensi supply dan demand pasar modal. Peningkatan jumlah perusahaan yang masuk bursa menjadi perusahaan terbuka (go public), melalui penawaran saham perdana (IPO) ke pasar akan membantu perusahaan menghimpun dana untuk berekspansi. Ekspansi tersebut selanjutnya bisa berdampak terhadap perkembangan perekonomian riil masyarakat. Hal ini selanjutnya dapat mewujudkan harapan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yaitu menjadikan BEI sebagai wadah yang dapat membangkitkan semangat, menciptakan, atau menggunakan pasar saham atau pasar modal sebagai sebagai ajang membangun ekonomi Indonesia yang lebih merata dan lebih baik, pada saat yang sama juga memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Sedangkan apabila dikaitkan dengan persaingan bursa secara internasional, penggabungan ini ternyata tidak hanya membuat menjadi bursa lebih besar dan efesien. Merger BEJ-BES juga menghasilkan posisi tawar yang lebih tinggi karena ukuran yang lebih besar, serta proses usaha yang lebih terpadu (Kompas,12/09/07).

Saturday, December 08, 2007

PERUBAHAN DALAM MANAJEMEN

Banyak faktor yang mempengaruhi suatu organisasi, dan sebagian besar faktor-faktor tersebut berubah secar kontinyu. Faktor-faktor ini yang menimbulkan atau menyebabkan perubahan dalam organisasi sehingga seorang manajer senantiasa harus mengantisipasi perubahan lingkungan yang akan mensyaratkan penyesuaian-penyesuaian desain organisasi di waktu mendatang. Perubahan-perubahan lingkungan dapat berasal dari luar (kekuatan eksternal) maupaun dari dalam (kekuatan internal). Perubahan organisasi karena adanya perubahan dalam berbagai variable eksternal, dapat berupa system politik, ekonomi, teknoligi, pasar dan nilai-nilai. Sedangkan perubahan-perubahan inernal berupa tujan, strategi, kebijaksanaan manajerial dan teknologi baru serta sikap dan perilaku para karyawan. Dalam menghadapai perubahan-perubahan yang terjadi diperlukan suatu pengelolaan perubahan secara efektif bagi kelangsungan hidup organisasi dan sebagi tantangan pengembangan oragnisasi.
PT Indofood Sukses Makmur Tbk (PT ISM) juga mengalami hal tersebut. Salah satu produsen makanan olahan ini sedang mengkaji divisi usahanya di bidang minyak kelapa sawit untuk menjadi perusahaan terbuka (go public). Munculnya perubahan dalam tubuh PT ISM sendiri disebabkan oleh salah satu kekuatan eksternal, yaitu pasar. Pasar minyak kelapa sawit yang potensial, prospektif dan kompetitif di dalam negeri maupun luar negeri, mendorong PT ISM untuk melakukan pengembangan pada perusahaannya melalui perluasan usah di bidang minyak kelapa sawit (CPO). Indofood berharap melalui kebijakan ini dapat mengambil keuntungan dari tingginya valuasi industri minyak sawit pada saat ini.
Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa berbagi faktor dalam lingkungan eksternal, yang menentukan kemampuan organisasi untuk menarik SDA dan SDM yang dibutuhkan atau untuk memproduksi dan memasarkan barang-barang atau jasa-jasanya menjadi salah satu kelompok kekuatan penyebab perubahan. Organisasi bergantung dan harus berinteraksi dalam lingkungan eksternal bila ingin kelangsungan hidupnya terjaga. Oleh karena itu, berbagai kekuatan eksternal dapat mempengaruhi berbagai operasi organisasi dan menyebabkan tekanan perubahan berupa perubahan tujuan, struktur dan metode operasinya.
Dalam menangani perubahan yang terjadi dalam organisasi, terdapat dua pendekatan utama yang digunakan para manajer. Pertama, Proses Perubahan Reaktif, dimana manajemen bereaksi atas tanda-tanda bahwa perubahan dibutuhkan, pelaksanaan modifikasi sedikit demi sedikit untuk menangani masalah-masalah tertentu yang timbul. Pendekatan ini diperlukan manajer dalam pemecahan masalah sederhana (kecil) dan penyesuaian hari ke hari yang integral dengan jabatannya. Dalam pendekatanini digunakan perencanaan minimal dan ditangani dengan cara-cara yang cepat dan rutin, dimana manajer memberikan reaksi setelah masalah terjadi.
Pendekatan kedua, yaitu Proses Proaktif, dimana manajemen mengembangkan suatu program perubahan yang direncankan (planned change) melalui pelaksanaan berbagai investasi waktu dan sumber daya lainnya yang berarti untuk mengubah cara-cara operasi organisasi. Dalam pendekatan ini program perubahan yang direncankan menyangkut kegiatan-kegiatan yang disengaja untuk mengubah status quo. Thomas dan Bennis mendefinisikan perubahan yang direncankan sebagi perancangan dan implementasi inovasi structural, kebijakan atau tujuan baru, atau suatu perubahan dalam filsafat, iklim dan gaya pengopersian secar sengaja. Pendekatan ini tepat bila keseluruhan organisasi, atau sebagian besar satuan organisasi, harus menyiapkan diri untuk atau menyesuaikan dengan perubahan. Perubahan yang direncanakan mempunyai ruang lingkup yang leih luas dan besar dibandingkan perubahan reaktif. Pendekatan ini mengantisipasi perubahn-perubahn dalam lingkungan eksternal dan internal, melibatkan keterkaitan waktu dan sumber daya yang lebih besar, memerluka keterampilan dan pengetahuan yang lebih bagi kesuksesan implementasinya dan dapat menimbulkan masalah-masalah yanglebih besar bila implementasinya gagal. Karena komplesitas dan kecepatan perubahan yang terjadi, manajer harus lebih memahami pentingnya dan menggunakan perubahan organisasi yang direncanakan.
PT ISM menangani perubahan yang terjadi dalam perusahaan dengan menggunakan proses proaktif, dimana perubahan yang dilakukan berupa perubahan yang direncanakan sebagi perancangan dan implementasi inovasi structural. Bentuk proses proaktif yang dilakukan oleh Indofood adalah perluasan kebun kelapa sawit yang dimilikinya. Sepanjang tahun 2005, Indofood menambah sekitar 35000 hektar lahan pertaniannya, pada tahun 2006 kan diselesaikan proses akusisi lahan seluas 31000 hektar di Kalimantan Timur dan pada tahun 2015 direncankan peningkatan kepemilikan lahan kelapa sawit sampai dengan 250000 hektar. Menurut Dirktur Utama PT ISM, Anthoni Salim tujuan penambahan lahan terbut untuk meningkatkan pasokan CPO dan mengurangi ketrgantungan pada pihak ketiga. Hal ini merupakan saran penanganan perubahan yang menyangkut kelangsungan hidup organisasi (perusahaan).
Bila manajemen merencanakan suatu perubahan, maka harus memutuskan unsure-unsur yang akan diubah dalam organisasi. Harold J. Leavitt menyatakan bahwa organisasi dapat diubah melalui pengubahan struktur, teknologi dan atau orang-orangnya. Pengubahan struktur organisasi menyangkut modifikasi dan pengaturan kembali berbagai sistem internal, seperti hubungan-hubungan tanggung jawab dan wewenang, sistem komunikasi, aliran kerja, ukuran komposisi kerja dan hirarki manajerial. Pengubahan teknologi organisasi berarti pengubahan atau modifikasi factor-faktor seperti peralata, proses teknik teknik-teknik riset atau sistem produksi yang mencakup layout, metode dan prosedur. Pengubahan orang-orang organisasi mencakup pengubahan kebijaksanaan dan prosedur penarikan dan seleksi, kegiatan-kegiatan latihan dan pengembangan, sistem balas jasa, keterampialn kepemimpinan dan komunikasi manajerial dan sikap, kepercayaan, peranan atau karakteristik karyawan lainnya.
Jika hal ini dihubungkan dengan kasus perubahan PT ISM, nampak jelas bahwa yang terjadi adalah perubahan berupa pengubahan teknologi, dimana terdapat modifikasi kembali dalam system produksi perusahaannya yang mencakup layout, metode dan prosedur berupa perluasan pasar usahanya melalui pengubahan sifat perusahaan menjadi go public.
Manajemen perubahan memerlukan penggunaan berbagai proses sistenatik yang dapat diperinci menjadi beberapa tahapan-tahapan atau sub-sub proses. Proses pengelolaan perubahan harus mencakup dua gagasan dasr bila prubahan adalah mengarah pada efektifitas organisasi. Pertama, ada redistribusi kekuasaan dalam struktur organisasi. Kedua, redistribusi ini dihasilkan dari proses perubahan yang bersifat pengembangan. Perubahan dalam PT ISM lebih mengarah pada gagasan kedua dimana proses perubahan yang terjadi lebih bersifat pengembangan dalam produksi perusahaan. Proses perubahan meliputi enam tahap sebagi berikut :
Tahap 1 : Tekanan dan desakan
Proses mulai ketika manajemen puncak mulai merasa adanya kebutuhan atau tekanan akan perubahan. Ini biasanya disebabkan oleh berbagai masalah yang berarti, seperti penurunan penjualan atau laba secara tajam.
Tahap 2 : Intervensi dan Reorientasi
Konsultan atau pengantar perubahan dari luar sering digunakan untuk merumuskan masalah dan memulai proses dengan membuat para anggota organisasi untuk memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut. Pihak-pihak luar sering digunakan, tetapi orang-orang staf internal juga sering mempunyai kemampuan pengelolaan proses bila mereka dipandang “ahli” dan “dipercayai”.
Tahap 3 : Diagnosa dan Pengenalan Masalah
Informasi dikumpulkan dan dianalisa oleh pengantar perubahan dan manajemen. Masalah-masalah yang paling penting dikenali dan diperhatikan.
Tahap 4: Penemuan dan Komitmen pada Penyelesaian
Pengantar perubahan hendaknya meransang pemikiran dan mencoba untuk menghindari penggunaan “metode-metode lama yang sama”. Penyelesaian-penyelesaian diketemukan melalui pengembangan secara kreatif alternative-alternatif baru dan masuk akal. Bila para bawahan didorong untuk berpartisipasi dalam proses ini, mereka mungkin akan lebih terkait pasda serangkaian kegiatan yang akhirnya dipilih.
Tahap 5 : Pencobaan dan Pencarian Hasil-hasil
Penyelesaian-penyelesaian yang dikembangkan pada tahap empat biasanya diuji adalam program pencoabaan berskala kecil dan hasilny dianalisa. Barangkali satu-satuan atau bagian tertentu dari sustu satuan, mecoba suatu gagasan sebelum dicoba dalam organisasi sebagi keseluruhan.
Tahap 6 : Penguatan dan Penerimaan
Bila serangkaian kegiatan telah teruji dan sesuai dengan keinginan, hatus diterima secar sukarela. Pelaksanaan kegiatan yang telah diterima harus menjadi sumber penguatan dan menimbulkan keterkaitan pada perubahan.

Monday, November 26, 2007

KRISIS EKONOMI NEGARA BERKEMBANG

Kondisi perekonomian global yang rapuh dengan sistem finansialnya yang tidak berfungsi baik, menempatkan negara-negara berkembang pada posisi yang rentan untuk terseret ke dalam krisis seperti yang dialami sejumlah negara Asia tahun 1997-1998. Belum berakhir sepenuhnya krisis finansial Asia dan Rusia, krisis ekonomi kembali menimpa Turki dan sejumlah negara Amerika Latin yang 20 tahun lalu juga mengalami krisis serupa dan selama satu dekade.
Krisis utang Amerika Latin dimulai dari Ekuador. Negara ini gagal memenuhi kewajiban (default) atas surat utang Brady Bonds yang jatuh tempo tahun 1999. Kemudian diikuti Argentina yang default pada Desember 2001, lalu Uruguay dan Brasil pada Juli 2002. Data Komite Pembangunan (Development Committee) Bank Dunia menyebutkan arus penanaman modal langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI atau Penanaman Modal Asing/PMA) secara neto ke Amerika Latin anjlok hingga 24 persen pada paruh pertama tahun 2002 saja.
Berbeda dengan Amerika Latin, sejak dua dasawarsa yang lalu, Asia Timur telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik serta daya maju yang dikagumi. Keadaan ini membuat beberapa negara yang dulu ekonominya miskin bertukar menjadi kuat serta bertambah maju. Kemajuan negara-negara tersebut memunculkan 'Harimau Asia' seperti negara Korea, Taiwan, Singapura dan Hong Kong (China). Kebangkitan negara-negara Asia Timur lainnya juga mengalami pertumbuhan yang menakjubkan seperti China, Thailand, Malaysia dan juga Indonesia. Tetapi semenjak Juli 1997, negara-negara ini mengalami kejatuhan nilai mata uang dan meredup di Bursa-Bursa saham yang ternama. Kejadian ini dikenal dengan nama krisis finansial Asia (Krisis mata uang Asia).
Krisis finansial Asia adalah krisis ekonomi yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis ini. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh oleh kejadian ini.
Hingga tahun 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan. Seiring berjalan waktu, kualitas portofolio kredit dari lembaga-lembaga keuangan di negara-negara tersebut menjadi buruk, sementara sektor dunia usaha juga terjerat beban utang sangat berat sehingga secara finansial kondisinya juga menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya shock.
Dilatarbelakangi oleh kejadian krisis di Amerika Selatan investor Barat kemudian kehilangan kepercayaan pada keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya. Menurut Berg dan Pattillo, kelemahan di sektor finansial dan korporasi ini merupakan satu-satunya alasan bagi negara-negara Asia terkena imbas krisis finansial tahun 1997. Krisis ini terjadi dengan cepat dan menyebar dari satu negara ke negara lain. Karena investor ketakutan investasinya akan terpukul maka mereka berlomba-lomba menarik dananya. Krisis Asia ini menyumbangkan krisis ke Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara Asia Timur maupun Amerika Latin menimbulkan dampak yang cukup parah. Perkembangan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama menjadi penurunan tajam, inflasi yang relatif terkendali menjadi hiperinflasi, dan larinya modal asing dalam jumlah besar, menyebabkan tingkat pengangguran menjadi sangat tinggi, jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat drastis, jumlah anak yang putus sekolah meningkat drastis, kejahatan meningkat tinggi dan banyak lagi dislokasi sosial dalam intensitas yang tinggi.

Krisis Ekonomi di Thailand
Dari 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Ekonomi Thailand bergantung pada ekspor, dengan nilai ekspor sekitar 60% PDB. Tenaga kerja dan sumber daya yang lumayan banyak, konsevatis fiskal, kebijakan investasi asing terbuka, dan pendorongan sektor swasta merupakan dasar dari kesuksesan ekonomi Thailand.
Sebelum krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan domestik Thailand berlomba-lomba mendapatkan pinjaman dari luar negeri terutama mata uang US Dollar. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut, pinjaman dari luar negeri dirasa sangat menguntungkan. Pertama karena suku bunga US Dollar lebih rendah dari pinjaman baht, dan kedua mereka merasa tidak akan ada risiko selisih kurs (karena pemerintah Thailand mematok mata uang baht terhadap US Dollar). Akibat dari kondisi ini Thailand dibanjiri oleh hutang-hutang dalam US Dollar. Kondisi ini bukanlah kondisi yang sehat, karena mudahnya perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh dana dari luar negeri tidak diimbangi dengan kemampuan menghasilkan output yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Dana-dana luar tersebut banyak yang diinvestasikan pada sektor-sektor yang tingkat pengembaliannya jauh dari yang diharapkan, seperti sektor properti. Pada titik tertentu, kondisi ini tidak bisa dipertahankan lagi dan kepercayaan pada ekonomi Thailand mulai runtuh. Akibatnya investor mulai menarik dana mereka dari Thailand dan mengakibatkan US Dollar menjadi langka dan sangat mahal. Mahalnya US Dollar menyebabkan pemerintah Thailand tidak kuat lagi mematok baht pada kurs tertentu terhadap US Dollar.
Pada 14 May dan 15 May 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 milyar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 milyar dolar AS.
Membengkaknya defisit Neraca Transaksi Berjalan terhadap PDB dan menurunnya cadangan devisa merupakan faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Thailand. Kepulihan Thailand dari Krisis Finansial Asia pada 1997-1998 banyak bergantung pada permintaan luar dari Amerika Serikat dan pasar asing lainnya.
Pemerintahan Thaksin yang mulai menjabat pada Februari 2001 menstimulasi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Thailand kepada perdagangan dan investasi asing. Sejak itu, administrasi Thaksin telah memperbaiki ekonomi Thailand dengan mengambil ekonomi "jalur ganda" yang menggabungkan stimulan domestik dengan promosi tradisional Thailand tentang pasar terbuka dan investasi asing. Ekspor yang lemah menahan pertumbuhan PDB pada 2001 hingga 1,9%. Namun, pada tahun 2002 ekspor kembali menambah performa yang semakin baik dengan pertumbuhan PDB pada 5,3% dan 6,3%.

Krisis Ekonomi di Brasil
Sama halnya dengan Thailand, Brasil pun tak pelak dari krisis ekonomi. Munculnya kerawanan dalam perekonomian dalam negeri, menyebabkan posisinya rentan terhadap kemungkinan serangan spekulan. Kerawanan itu meliputi membengkaknya defisit neraca transaksi berjalan (current account) akibat mata uang yang overvalue serta kebijakan manajemen utang yang sembrono sebelum krisis. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi utang jangka pendek dalam dollar AS yang sangat besar. Selain itu, ekspansi yang terlalu cepat dari sektor finansial dalam negeri selama masa boom juga menyebabkan buruknya kualitas portofolio kredit perbankan dan membuka potensi terjadinya devaluasi mata uang.
Nilai tukar mata uang real terhadap dollar AS pun jatuh, dari 2,33 menjadi 2,70. Suku bunga jangka pendek perbankan tinggi, 18,45 persen. Hal ini menyulitkan dunia usaha karena orang lebih senang menabung dibandingkan usaha. Akibatnya, banyak perusahaan bangkrut. Pendapatan kotor per kapita minus 0,7 dan inflasi tercatat 7,8 persen. Tingkat inflasi Brazil, rata-rata selama tahun 1997-2001 adalah 121.79 persen.
Hal ini mendorong peningkatan angka pengangguran. Tahun 1999, misalnya, angka pengangguran tercatat 7,5 persen. Kondisi politik Brasil pun menjadi tidak stabil. Angka kriminalitas boleh jadi kian meroket.

Krisis Ekonomi di Indonesia
Selama hampir tiga dekade dari tahun 1970 hingga pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia memperlihatkan stabilitas kinerja yang sangat baik. Bahkan pada tahun 1993, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia ke dalam klasifikasi “New Industrialized Economies” (NIEs), bersama dengan Malaysia dan Thailand. Produk Domestik Bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata 7 persen setahun dan inflasi terkendali pada tingkat dari sekitar US$ 100 tahun 1970 menjadi sebesar US$ 1.014 di tahun 1996 dan jumlah penduduk miskin menurun dari sekitar 60 persen menjadi 11 persen. Dalam tahun 1996, PDB riil bahkan masih tumbuh sekitar 8 persen. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Pada Juli 1997, Thailand mengambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Sepanjang tahun 1998, rupiah terdepresiasi dengan lebih dari 70 persen yang mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 dimana nilai tukar mencapai Rp. 14.700 per US$. Tahun 1997 PDB tumbuh sebesar 4,7 persen dan berkontraksi hingga minus 13,1 persen di tahun 1998. Inflasi yang hanya berkisar rata-rata 8,1 persen antara 1991-1996, pada tahun 1998 meningkat tajam menjadi 77,6 persen, yang sebagian besar berasal dari barang-barang yang diperdagangkan secara internasional. Setelah gagal menahan laju depresiasi rupiah, Bank Indonesia pada bulan Juli 1998 menaikan tingkat suku bunga SBI satu bulan hingga 70 persen. Pada tahun 1998, akibat permintaan domestik yang menurun tajam, impor barang konsumsi dan ekspor migas mengalami penurunan masing-masing dengan 34 persen dan 36 persen. Krisis ekonomi Indonesia mencapai titik puncak pada tahun 1998, yang ditandai oleh kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 13,1 persen.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Potret Indonesia menjadi sangat muram dimana kerusuhan terjadi di berbagai wilayah, dunia usaha kehilangan daya saing, dan pasar modal kehilangan daya tariknya.
Salah satu dampak utama dari krisis ekonomi di Indonesia adalah terjadinya begitu banyak perubahan mendasar dalam tatanan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang menentukan arah kehidupan bernegara, disatu sisi merupakan perubahan yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern, namun disisi lain memberikan kontribusi bagi kompleksitas permasalahan pemulihan ekonomi. Kontraksi perekonomian ini diikuti oleh pertumbuhan negatif hampir semua lapangan usaha. Sektor konstruksi mengalami kontraksi 36,44 persen disusul oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan dengan produksi terbesar terjadi pada industri berat seperti mesin-mesin, baja, otomotif, dan bahan konstruksi. Krisis ekonomi tersebut kemudian membuat Pemerintah memusatkan kebijakan program dan pendanaannya kepada Jaring Pengaman Sosial (JPS), restrukturisasi sektor moneter, dan rekapitulasi perbankan. Konsentrasi dana dan daya ini menyebabkan sektor produksi (barang dan jasa) seperti terabaikan walaupun kondisinya sama buruknya dengan sektor perbankan sebagai akibat bunga bank yang tinggi, kurs dolar yang fluktuatif, dan hutang korporasi jangka pendek.
Dampak krisis ekonomi terhadap sektor infrastruktur mengakibatkan posisi sektor infrastruktur dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, terjadi economic loses akibat fasilitas dan industri pelayanan sarana dan prasarana dasar tidak dapat menunjang pergerakan ekonomi yang efisien; di sisi lain, infrastruktur tersisih dari kebijakan alur utama (the mainstream of macro sectors).
Dalam dasawarsa terkahir pertumbuhan pada berbagai sektor infrastruktur mengalami gejolak yang normal hingga tahun 1997, terjadi penurunan atau peningkatan pertumbuhan namun tetap bernilai positif. Pada tahun 1998, sebagai dampak dari krisis nilai tukar yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, pertumbuhan sektor infrastruktur mengalami penurunan yang signifikan. Kecuali sektor listrik, gas dan air bersih yang masih tetap positif kontribusinya dalam total pertumbuhan yaitu sebesar 3,03 persen meski menurun dibanding tahun sebelumnya, sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi negatif sebesar 36,44 persen dan 15,13 persen. Daya beli masyarakat yang menurun secara umum mengakibatkan penurunan konsumsi pada sektor infrastruktur secara drastis kecuali pada infrastruktur yang merupakan basic needs seperti listrik, gas dan air bersih.
Krisis ekonomi menyebabkan transportasi dan komunikasi mengalami kontraksi sebesar 15,13 persen. Daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan angkutan udara kehilangan sekitar 40 persen penumpangnya dan berakibat pada dihapuskannya beberapa rute penerbangan. Angkutan darat mengalami kendala pada jaringan jalan nasional yang saat ini dalam kondisi kritis, bukan saja karena kurangnya dana, bahkan untuk rehabilitasi dan pemeliharaan, tetapi bahkan sebelum krisis, kualitas konstruksi jalan yang tidak optimal serta pembebanan muatan lebih (excessive overloading) telah menghacurkan investasi pemerintah dalam jaringan jalan nasional. Konstruksi jalan yang rusak sebelum waktu ekonominya habis menyebabkan kerugian biaya sosial yang amat besar bagi masyarakat. Kualitas dan kuantitas angkutan bus menurun dengan tajam, meningkatkan resiko dalam aspek keselamatan penumpangnya. Pada sektor angkutan laut, maskapai angkutan laut nasional mengalami kendala biaya perawatan dan operasional karena mahalnya suku cadang. Secara keseluruhan sektor transportasi terpukul oleh nilai tukar rupiah yang melemah sementara kewajiban keuangan dan alat-alat produksi harus dibayar menggunakan dolar.
Krisis ekonomi menyebabkan makin terpuruknya kondisi keuangan, operasional, dan manajemen perusahaan penerbangan nasional. Kenaikan drastis biaya operasional yang disebabkan oleh merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar terjadi akibat tingginya komponen dolar (sekitar 85 persen) dalam operasi penerbangan, sementara pendapatan jasa diperoleh dalam rupiah. Kondisi ini diperparah oleh buruknya manajemen perusahaan penerbangan bahkan jauh sebelum krisis terjadi. Sementara itu kondisi pelayaran nasional sudah terpuruk sejak sebelum krisis memukul perekonomian Indonesia. Defisit neraca berjalan Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh sektor jasa palayaran akibat sangat kecilnya peran perusahaan pelayaran nasional dalam angkutan barang internasional (hanya sekitar 3 persen) dan mulai mengecilkan peran dalam angkutan barang nasional (sekitar 53 persen).
Saat ini perekonomian Indonesia sedang berada pada masa pemulihan. Meskipun masih ada sektor-sektor yang belum pulih, secara umum indikator-indikator perkenomian Indonesia, seperti tingkat inflasi, IHSG, nilai tukar rupiah dan GDP sudah menunjukkan perbaikan. Usaha-usaha perbaikan di berbagai sektor telah dilakukan seperti pengurangan dominasi negara pada dunia usaha melalui privatisasi BUMN, dan penerapan standar-standar international seperti prinsip-prinsip Good Corporate Governance dan Risk Management pada dunia usaha.

Kesimpulan
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa krisis ekonomi di negara-negara berkembang dapat terjadi kembali. Hasil survei World Institute for Development Economics Research (WIDER) dengan sponsor PBB menyebutkan, selama tidak ada regulasi lebih ketat (termasuk untuk membatasi sepak terjang para spekulan) dan upaya-upaya lain untuk meredam dampak dari siklus naik-turun (boom and bust)-nya serta merosotnya arus modal global ke negara-negara berkembang, maka sulit mencegah terulangnya kembali krisis ekonomi seperti yang dialami sejumlah negara berkembang akhir-akhir ini.

KERUNTUHAN PERUSAHAAN ENRON

Bagi kalangan investor yang bermain dalam bursa saham mungkin tak asing lagi dengan Enron. Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berdiri pada tahun 1985 dan berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat. Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan kertas, dan komunikasi. Hanya dalam 15 tahun, Enron berkembang dari sebuah kenihilan menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan beroperasi lebih dari 40 negara. Enron mengaku penghasilannya pada tahun 2000 berjumlah $111 milyar. Majalah Fortune menamakan Enron "Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif" selama enam tahun berturut-turut, yaitu dari tahun 1996 hingga 2001. Selain itu, Enron juga masuk dalam kategori “100 Perusahaan Terbaik Amerika” dan menempati posisi 7 dari 500 perusahaan besar versi Majalah Fortune pada tahun 2000.
Namun, masa gemilang Enron hanya bersifat sementara. Sekonyong-konyong operasinya di Eropa melaporkan kebangkrutan pada 30 November 2001 dan harus menanggung rugi tak kurang dari 50 miliar dolar AS. Dibandingkan dengan harga pada Agustus 2000, harga sahamnya terjungkal hingga tinggal seperduaratusnya. Simpanan dana pensiun 1 miliar dolar AS milik 7.500 karyawan amblas karena manajemen Enron menanamkan dana tabungan karyawan itu untuk membeli sahamnya sendiri. Pelaku pasar modal kehilangan 32 miliar dolar AS. Inilah sebuah rekor kebangkrutan bisnis terburuk di Amerika Serikat (AS) sepanjang sejarah.
Kontroversi demi kontroversi mengiringi proses penyelidikan sebab-sebab kebangkrutan tersebut. Pertama, diketahui bahwa manajemen Enron telah melakukan window dressing, memanipulasi angka-angka laporan keuangan agar kinerjanya tampak kinclong. Nilai pendapatan, misalnya, di-mark-up 600 juta dolar AS, dan utangnya senilai 1,2 miliar dolar AS disembunyikan dengan teknik off-balance sheet. Auditor Enron, Arthur Andersen kantor Huston, dipersalahkan karena ikut membantu proses rekayasa keuangan tingkat tinggi itu.
Tuntutan hukum terhadap para direktur Enron, setelah skandal tersebut, sangat menonjol karena para direkturnya menyelesaikan tuntutan tersebut dengan membayar sejumlah uang yang sangat besar secara pribadi. Selain itu, skandal tersebut menyebabkan dibubarkannya perusahaan akuntansi Arthur Andersen, yang akibatnya dirasakan di kalangan dunia bisnis yang lebih luas. Sejak itu, Enron menjadi lambang populer dari penipuan dan korupsi korporasi yang dilakukan secara sengaja.

Runtuhnya Enron
Enron Corporation adalah "pencakar langit" dalam dunia bisnis Amerika, sama seperti Gedung World Trade Center yang menjulang tinggi di kota New York. Mirip Tragedi WTC, Enron menguap jadi debu saat perusahaan itu menyatakan diri bangkrut pada 30 November 2001 lalu, kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis Amerika sepanjang masa.
Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekadar perusahaan pipanisasi gas alam di Negara Bagian Texas pada 1985 menjadi raksasa global dalam beberapa tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di Inggris dan membangun pembangkit listrik swasta di India. Konsep bisnisnya yang visioner dan futuristik membuat dia menjadi anak emas di lantai bursa Wall Street. Harga sahamnya terus meroket.
Akhir 1999, Enron meluncurkan EnronOnline yang dianggap akan mengubah wajah bisnis energi masa depan. Memanfaatkan Internet, divisi e-commerce itu membeli gas, air minum dan tenaga listrik dari produsen dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar. Enron bahkan memperluas wilayah, membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan tinggi serta bertekad menjual bandwidth jaringan itu seperti dia menjual gas dan listrik. Setelah itu mungkin dia akan jual-beli online untuk kertas daur ulang pabrik miliknya.
Tak lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand dimana menjual tayangan video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan tinggi, harga saham Enron mencapai puncaknya, US$ 90 per lembar, pada Agustus 2000. Meski kemudian merosot bersama jatuhnya saham-saham teknologi dan internet lain, nilai pasar Enron masih berkisar US$ 60 milyar.
Pada Oktober 2001 Enron menjatuhkan bom di Wall Street dengan melaporkan kerugian ratusan juta dolar pada kwartal itu. Sangat mengejutkan karena Enron hampir selalu membawa berita gembira ke lantai bursa dengan melaporkan keuntungan selama empat tahun berturut-turut. Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30 menjadi US$ 10 per lembar, hanya dalam hitungan hari.
Securities Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal, membaui ada yang tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam kondisi terdesak, Enron menjatuhkan bom lebih dahsyat lagi ke lantai bursa ketika pada 8 November 2001 mengakui bahwa keuntungannya selama ini adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan lima tahun terakhir dan membukukan kerugian US$ 586 juta serta tambahan catatan utang sebesar US$ 2,5 miliar.
Namun, pada akhir November 2001, Enron sedikit bisa bernafas lega ketika Dynegy Inc, pesaingnya yang jauh lebih kecil, berniat membeli sahamnya dalam sebuah kesepakatan merger. Harapan itu tak berumur lama. Dynegy mundur setelah Enron makin kehilangan kepercayaan investor dan rating kreditnya jatuh ke titik terendah-berstatus "junk-bond". Ketika tak kurang seperempat milyar lembar sahamnya dipertukarkan di lantai bursa, harga Enron meluncur ke dasar jurang. Saham Enron yang pada Agustus 2000 masih berharga US$ 90 per lembar, terjerembab jatuh hingga tidak lebih dari US$ 45 sen. Akhirnya pada tanggal 2 Desember 2001 Enron menyerah dan mengajukan petisi bangkrut.
Kasus Enron
Kejatuhan Enron ternyata mengundang tanya dan rasa curiga yang besar bagi kalangan publik. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutannya, belakangan Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 milliar. Manipulasi ini telah berlangsung bertahun-tahun, sampai Sherron Watskin, salah satu eksekutif Enron yang tak tahan lagi terlibat dalam manipulasi itu, mulai "berteriak" melaporkan praktek tidak terpuji itu. Keberanian Watskin inilah yang membuat semuanya menjadi terbuka.
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak, para eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$ 1,1 milyar. Selama empat tahun terakhir, Kenneth L. Lay, presiden komisaris sekaligus direktur Enron diperkirakan meraup untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun yang sama dia membujuk karyawan dan investor untuk membeli saham Enron, antara lain dengan iming-iming laporan keuangan yang menjanjikan tapi palsu. Bahkan pada 26 September 2001, ketika harga saham jatuh menjadi US$ 25 per lembar, Ken Lay masih mencoba menghibur karyawan untuk tidak menjualnya, sebaliknya membujuk mereka membeli. Dalam e-mail yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham Enron "luar biasa murah" dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan kemudian, Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada kebangkrutannya. Para karyawan tak bisa menjual saham mereka sampai semuanya sudah terlambat, Enron kehilangan nilai sama sekali.
Proses pengusutan juga membuahkan suatu penemuan yang menarik, yaitu kisah pemusnahan ribuan surat elektronik dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan audit Enron oleh petinggi di firma audit Arthur Andersen. Pada tanggal 12 Oktober 2001 Arthur Andersen menerima perintah dari para pengacara Enron untuk memusnahkan seluruh materi audit, kecuali berkas-berkas yang paling dasar. Kini, Arthur Andersen menghadapi berbagai tuntutan di pengadilan. Diperkirakan tak kurang dari $ 32 miliar harus disediakan Arthur Andersen untuk dibayarkan kepada para pemegang saham Enron yang merasa dirugikan karena auditnya yang tidak becus. Ratusan mantan karyawan yang marah juga sudah melayangkan gugatan kepada Andersen. Di luar itu, otoritas pasar modal dan hukum Amerika Serikat pasti akan memberi sanksi berat jika tuduhan malapraktek itu terbukti. Belakangan, salah satu mantan petinggi Enron, Cliff Baxter tewas bunuh diri karena tak tahan menghadapi tekanan bertubi-tubi.
Selain penghancuran dokumen, terungkap pula adanya kemitraan Enron dengan perusahaan "kosong", seperti Chewco dan JEDI. Perusahaan dengan nama yang terkesan main-main (Chewco dan JEDI adalah karakter dalam Star Wars) ini membuat para eksekutif Enron yang mengemudikannya kaya raya, dan Enron membuat pembukuan off balance sheet atas kerugian ratusan juta dolar sehingga tersembunyi dari mata investor dan pihak lain.
Komplikasi skandal ini bertambah, karena belakangan diketahui banyak sekali pejabat tinggi gedung putih dan politisi di Senat Amerika Serikat yang pernah menerima kucuran dana politik dari perusahaan ini. Tujuh puluh persen senator, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, pernah menerima dana politik. Menurut Center for Responsive Politics, Lay dan istrinya, Linda, menyumbang 86.470 dollar AS ke Partai Republik. Perusahaan Enron dan karyawannya menyumbang 3 juta dollar AS kepada Partai Republik periode 1998-2002 dan 1,1 juta dollar AS untuk Demokrat. Dalam Komite yang membidangi energi, 19 dari 23 anggotanya juga termasuk yang menerima sumbangan dari perusahaan itu. Sementara itu, tercatat 35 pejabat penting pemerintahan George W. Bush merupakan pemegang saham Enron yang telah lama merupakan perusahaan publik. Dalam daftar perusahaan penyumbang dana politik, Enron tercatat menempati peringkat ke-36, dan penyumbang peringkat ke-12 dalam penggalangan dana kampanye Bush. Lembaga bernama The Center for Public Integrity menyatakan Lay telah menyumbang 139.500 dollar AS untuk kampanye politik George W Bush selama bertahun-tahun. Sumbangan Lay itu adalah bagian dari 602.000 dollar AS sumbangan karyawan Enron atas berbagai kampanye politik Bush. Selain itu, Lay dan istrinya menyumbang 100.000 dollar AS ketika Bush dilantik sebagai Presiden AS pada tahun 2001.
Penulis dan aktivis demokrasi di AS, Greg Palast, mengungkapkan bahwa George Bush pernah menempatkan Pat Wood (orang kepercayaan Lay) sebagai pihak yang ditugasi meneliti kecurangan Enron. Hasilnya, Pat Wood tidak melakukan apa pun. Palast menambahkan, Enron pernah menggunakan sekitar 500.000 dollar AS dana pensiunan milik Negara Bagian Florida. Dana-dana itu sudah lenyap dari catatan pembukuan Enron. Semua itu bisa terjadi karena Jeb Bush (adik George Bush) adalah Gubernur Negara Bagian Florida. Akibat pertalian semacam itu, banyak orang curiga pemerintahan Bush dan para politisi telah dan akan memberikan perlakuan istimewa, baik dalam bisnis Enron selama ini maupun dalam proses penyelamatan perusahaan itu.

Tindakan Hukum atas Petinggi Enron
Akibat banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh para eksekutif Enron, maka hukum pun turun tangan. Dalam proses pembuatan keputusan pada kasus kebankrutan Enron Kenneth Lay dan Jeffrey Skilling, mantan direktur eksekutif (CEO) Enron dinyatakan bersalah karena menipu para investor dengan menggunakan transaksi di luar pembukuan untuk menyembunyikan neraca utang dan menaikkan pendapatan. Jeff Skilling, dijatuhi hukuman penjara 24 tahun dan empat bulan. Ia dituduh menjadi otak penipuan keuangan yang menghancurkan perusahaan dan dinyatakan bersalah dalam 19 dari 28 dakwaan yang dihadapinya. Skilling juga diperintahkan untuk membayar ganti rugi sebesar 45 juta dolar AS kepada para investor Enron yang kehilangan miliar dollar AS ketika perusahaan itu bubar, ribuan karyawan kehilangan pekerjaan dan dana pensiun. Sementara itu Kenneth Lay, diputuskan bersalah dalam semua 6 dakwaan konspirasi dan menghadapi ancaman penjara 45 tahun. Namun, sebelum menjalani masa hukumannya, Kenneth Lay meninggal dunia di Aspen, Colorado, AS, karena serangan jantung pada tanggal 5 Juli 2006.

Dampak Keruntuhan Enron
Keruntuhan perusahaan energi Enron cukup banyak berdampak bagi dunia bisnis internasional. Akibat kebangkrutan Enron pada tahun 2001 sedikitnya 4.000 karyawan kehilangan pekerjaan. Kolapsnya Enron juga mengguncang neraca keuangan para kreditornya yang telah mengucurkan milyaran dolar (JP Morgan Chase dan Citigroup adalah dua kreditor terbesarnya). Para karyawan Enron dan investor kecil-kecilan juga dirugikan karena simpanan hari tua mereka yang musnah. Sebagian besar dana pensiun dan tabungan 20.000 karyawan Enron terikat dalam saham yang kini tanpa nilai.
Banyak lembaga keuangan internasional juga ikut menderita kerugian akibat bangkrutnya Enron, sehingga membuat mereka semakin berhati-hati dalam membidik peluang investasi. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal diharuskan memenuhi persyaratan pembeberan (disclosure) yang luar biasa ketat.
Kasus Enron juga melatarbelakangi munculnya Sarbanes Oxley. Sarbanes Oxley adalah nama lain dari undang-undang reformasi perlindungan investor (The Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002) yang ditandatangani George Bush bulan Juli tahun 2002 lalu. Banyak yang menyebutkan bahwa undang-undang ini adalah reaksi keras regulator AS terhadap kasus Enron pada akhir tahun 2001. Inti utama dari undang-undang ini adalah upaya untuk lebih meningkatkan pertanggungjawaban keuangan perusahaan publik (good corporate governance). Undang-undang ini berpengaruh signifikan terhadap manajemen perusahaan publik, akuntan publik (auditor), dan pengacara yang berparaktek di pasar modal. Mengingat sifatnya yang sangat ketat dan berdampak luas, undang-undang ini terbilang kontroversial dan menjadi polemik hingga sekarang.
Arthur Andersen LLP (member di Amerika Serikat) yang dianggap ikut bersalah dalam kebangkrutan Enron juga terkena imbasnya. Member Arthur Andersen di beberapa negara seperti, Jepang dan Thailand, telah membuat kesepakatan merger dengan KPMG, Australia dan Selandia Baru dengan Ernst & Young, dan Spanyol dengan Deloitte Touche Tohmatsu. Di Amerika sendiri, aktivitas seluruh member Andersen dibekukan pemerintah. Akibatnya, menurut Asian Wall Street Journal klien-klien Andersen LLP beralih ke berbagai auditor. Antara lain Delotte and Touche (10 persen), KPMG (11 persen), PriceWaterhouseCooper (20 persen), dan Ernst & Young (28 persen). Dan yang berpindah ke auditor-auditor kecil lainnya atau mengaku belum tahu berpindah kemana sebanyak 40 persen.
Masih banyak lagi hal-hal yang dipengaruhi oleh keruntuhan Enron, seperti munculnya trauma dalam bursa saham terhadap efek domino skandal Enron. Hal ini membuat para investor mengurangi aktivitasnya di bursa saham sehingga gairah bursa dunia menjadi lesu.

Enron Masa Kini
Enron masih ada hingga sekarang dan mengoperasikan segelintir aset penting serta membuat persiapan-persiapan untuk penjualan (spin-off) sisa-sisa bisnisnya. Enron muncul dari kebangkrutan pada November 2004 setelah salah satu kasus kebangkrutan terbesar dan paling rumit dalam sejarah AS.






















Saturday, September 08, 2007

MENAPAKI PENDIDIKAN, MERANGKUL PERDAGANGAN DAN INDUSTRI

Aku jadi teringat kala rumah-rumah itu diratakan dengan bulldozer, banyak teriakan, dan makian yang mengiringi mobil monster itu, bahkan isak tangis pun meramaikan suasana kala itu. Bagaimana tidak! Rumah yang sudah puluhan tahun mereka tempati harus diluluhlantakan hanya untuk mendirikan mall semata. Meskipun demikian, anehnya, minat warga terhadap pendirian mall tersebut cukup besar.

Demikianlah Ely Yulita menggambarkan pembangunan pusat pertokoan yang kontroversial dalam cerita pendek Change My Country dalam Buklet Cerpen Perempuan Istimewa. Sebuah prosa yang berkisah tentang sisi lain modernitas Kota Rangkasbitung yang banyak menimbulkan dampak negatif dalam sisi moral.
Entah. Inikah wujud sebuah kemandirian? Transformasi yang berfokus pada modernisasi menyelimuti hampir seluruh daerah di Indonesia. Pembangunan di berbagai bidang dilakukan oleh daerah-daerah sebagai jawaban atas penerapan otonomi daerah. Bahkan, beberapa daerah berani memasarkan dirinya sendiri melalui pembentukan city branding. Salah satu contohnya, kota Jogjakarta yang memasarkan dirinya dengan merek “Jogja Never Ending Asia”.
Dengan menawarkan potensi yang dimiliki, berbagai daerah berlomba menarik investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Para investor tersebut diharapkan, dapat membantu pemerintah daerah dalam memajukan daerahnya. Maka tak jarang pemerintah daerah saat ini menerapkan perizinan satu atap (one stop service) untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi sebagai upaya membuka pintu investasi selebar-lebarnya. Tak hanya itu, pemerintah daerah pun berupaya bersikap business friendly terhadap dunia usaha dan lebih mengedepankan pentingnya jumlah investasi yang masuk, yang pada akhirnya akan menambah pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pun demikian dengan Kota Malang. Pembangunan kian marak menghiasi wajah kota Malang. Kini, ia telah menjelma menjadi remaja yang beranjak dewasa dan sedang mencari jati diri melalui sebuah kemandirian. Kemanakah ia melangkah sekarang?

Kota Malang di Era Otonomi Daerah
Berawal dari penerapan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak tahun 2001. Kedua Undang-undang tersebut, menandai adanya pergeseran pola manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik. Hal ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing. Karena, pemerintah daerahlah yang paling tahu tentang kebutuhan daerahnya.
Ir. Bachiar Ismail, Ketua Badan Perencanaan Kota (Bappeko) Malang mengungkapkan bahwa pembangunan Kota Malang saat ini telah sesuai dengan visi dan misi Kota Malang. “Kami dari pihak Bappeko melakukan pembangunan, sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kota Malang, yaitu Malang yang mandiri, sejahtera, dan berwawasan lingkungan,” ungkapnya.
Dalam situs Pemerintah Kota Malang (http:/www.malang.go.id) dipaparkan, bahwa kota Malang yang mandiri berarti mampu membiayai sendiri seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan segala sumber daya lokal (sumber daya alam, potensi daerah dan sumber daya manusia yang dimiliki). Sedangkan kota Malang yang sejahtera artinya, pelaksanaan pembangunan semuanya diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kota, baik secara material maupun spiritual. Dan kota Malang yang berwawasan lingkungan berarti bahwa pelaksanaan pembangunan tetap berupaya menjaga kelestarian alam dan kualitas lingkungan serta permukiman kota Malang.
Walikota Malang, Drs. Peni Suparto menambahkan, bahwa pembangunan kota Malang tidak lepas dari program pembangunan nasional. “Program pembangunan nasional memprioritaskan pengentasan kemiskinan. Lalu, ada penelitian tentang orang miskin oleh lembaga internasional maupun lembaga nasional yang menyatakan bahwa orang miskin itu karena kualitas SDM rendah, sehingga pengentasan kemiskinan menempatkan prioritas pada sektor pendidikan,” ujarnya. Penempatan sektor pendidikan pada prioritas utama pembangunan kota Malang diakui telah diwujudkan. Bactiar mengungkapkan bahwa banyak hal telah dilakukan untuk pengembangan pendidikan. “Contohnya kami telah mendirikan sekolah model di daerah Lowokwaru. Sekarang kami juga lebih banyak membangun SMK karena sektor pendidikan Kota Malang lebih diarahkan pada ketrampilan. Makanya target kami jumlah SMK lebih banyak dibandingkan SMU,” tuturnya.
Walaupun demikian, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang untuk tahun ini masih dibawah Undang-Undang (UU). ”Kalau pendidikan di UU kan harus 20 persen, kita sudah mendekati ini, sekitar 15 persen,” ujar Dr. Bambang Satriya, Wakil Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang. Menurut Bambang, alokasi anggaran ini sangat tergantung dengan kemampuan APBD dari masing-masing daerah. Ia mengakui saat ini kota Malang mampu pada tingkat 15 persen.
Di samping itu, fokus pembangunan kota Malang tak hanya mandek pada sektor pendidikan. Bambang menuturkan bahwa sektor lainnya juga perlu digarap. “Pendidikan tetap digarap tapi sektor lain juga kita bangun” ujaranya. Peni pun mengungkapkan hal yang senada. Meskipun prioritas pembangunan kota Malang pada sektor pendidikan, sektor pariwisata dan industri tetap digarap. Ketiga sektor ini berjalan sesuai dengan landasan pembangunan Kota Malang, Tri Bina Cita. “Pendidikan menjadi prioritas utama sesuai dengan program pembangunan nasional, tetapi sektor lain juga tidak boleh mandek. Sektor wisata digerakkan, sektor industri juga digerakkan. Semua berjalan bersama-sama,” ujar pria kelahiran 14 Agustus 1947 ini.
Namun anehnya, kondisi saat ini tidak menyiratkan hal demikian. Pergerakan modernisasi kota Malang lebih banyak menekankan pada sektor perdagangan. Hal ini seakan-akan bertentangan dengan rencana dan landasan pembangunan Kota Malang sendiri. “Terdapat pergeseran pada kebijakan pemerintah dimana pemerintah tidak lagi konsekuen dengan Tri Bina Cita. Saya heran, hampir disetiap sudut, muncul ruko-ruko baru. Saya nggak ngerti pemerintah itu maunya apa,” demikian tutur Dr. M. Khusaini, ekonom dari Universitas Brawijaya.

Berpaling ke Perdagangan
Tak dapat dipungkiri, kota Malang memang memiliki potensi yang khas. Banyak para wisatawan menjadikan kota ini sebagai tempat singgah dan sekaligus tempat belanja. Ekonomi perdagangan di kota ini pun tergolong cukup besar. Terbukti Malang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan warga, melainkan juga masyarakat sekitarnya seperti dari Blitar, Kediri, dan Tulungagung. Hal ini membuat sektor perdagangan mampu mengubah konsep pariwisata kota Malang dari kota peristirahatan menjadi kota wisata belanja.
Dengan potensi yang demikian, Kota Malang menjadi lahan yang sangat potensial untuk kegiatan bisnis. Maka bukan hal yang mengherankan lagi, jika kota ini mampu menarik perhatian tersendiri bagi kaum investor.
Menurut Khusaini, selama ini kebanyakan investor yang menanamkan modalnya di Malang menganggap pembangunan real estate dan ruko lebih menguntungkan. Oleh sebab itu, kini sektor perdagangan lebih banyak digarap oleh investor.
Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) Kota Malang pun menunjukkan hubungan yang selaras dengan hal ini. Terbukti laju pertumbuhan sektor pedagangan, hotel dan restoran paling besar diantara sektor lainnya. Pada tahun 2003 tercatat laju pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran berada pada tingkat 5,21 persen. Sedangkan pada tahun 2004 laju pertumbuhannya meningkat menjadi 7,11 persen. Hal ini dapat menjadi parameter pesatnya perkembangan sektor perdagangan kota Malang saat ini.
Menanggapi hal tersebut, Dra. Penny Indriani, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Malang menjelaskan bahwa maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan saat ini dimaksudkan untuk membantu Usaha Kecil Menengah (UKM). Dengan munculnya pusat-pusat perbelanjaan baru diharapkan dapat membantu pemasaran dari UKM kecil. “Hal ini akan membuat daya tarik yang lebih baik dari UKM itu sendiri. Lagi pula pusat-pusat perbelanjaan dapat menarik pengunjung, khususnya wisatawan domestik ke kota Malang,” ungkapnya.
Sayangnya, hingga saat ini masih banyak pengrajin-pengrajin kota Malang mengeluhkan kesulitan dalam memasarkan produknya. Salah satu contohnya para pengrajin gerabah dan keramik di daerah Panjaitan mengakui mengalami penurunan penjualan. “Dulu di daerah ini (sepanjang Jalan Panjaitan, red) banyak kerajinan. Tapi sekitar tahun 2003 bangkrut karena nggak laku. Hal ini disebabkan pemasarannya yang sulit,” tutur M. Atim, salah satu pengrajin gerabah.
Kenyataan di lapangan juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang “mesra” antara para pedagang besar dengan para pengrajin. Di berbagai mall kota Malang masih jarang ditemui UKM kecil. Para pedagang besar yang memiliki modal banyak lebih mendominasi outlet-outlet mall.
“Di sini cuma tempat untuk selling, that’s it. Nggak ada yang lain. Kalau kita bisa bantu dengan kebijakan juga nggak mungkin bisa. Ini adalah tempat untuk jual beli artinya kita hanya menyediakan lahan untuk jual beli,” demikian tanggapan Suwanto S.Sos, Tenant Relation dan Customer Service Supervisor Malang Town Square (Matos) ketika ditanyai mengenai hal ini. Kenyataan tersebut menyiratkan pembangunan fasilitas-fasilitas perbelanjaan kota Malang saat ini masih belum efektif.

Geertz dan Kuznets
Perkembangan sektor perdagangan kota Malang yang cukup pesat saat ini sudah lama menjadi buah bibir di berbagai kalangan. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Sayangnya, buah bibir yang kontroversial ini belum juga menemukan titik kompromis.
Tak hanya disinyalir kurang kooperatif dengan para UKM kecil, beberapa kalangan memandang perkembangan sektor perdagangan yang mengarah pada pertumbuhan bangunan, baik pertokoan maupun perumahan menimbulkan dampak negatif lainnya. Salah satu contoh berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) di kota Malang. Seperti yang diungkapkan dalam artikel Budi Sugiarto, mantan Kepala Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, yang berjudul “Pembangunan di Kota Malang mulai tidak seimbang”, di rubrik Kompas Jatim. Dalam artikel tersebut, Budi mengungkapkan bahwa pada tahun 2000 total luas lahan terbangun sebesar 6.505,4 ha sedangkan total lahan seluruhnya seluas 11.005,7 ha. Sebanyak 40 persen lahan di Malang telah menjadi lahan terbangun, 24 persen tegal, 22 persen sawah, sembilan persen untuk lain-lain, dan lima persen berupa tanah kosong (
http://www.kompas.com/).
Bahkan situs Tempo Interaktif memaparkan bahwa pada tahun 2004 RTH di kota Malang hanya tinggal empat persen. “Ini sudah di ambang batas dan menyalahi aturan pemerintah. PP No. 63/2002 menggariskan luas RTH itu minimal 10 persen dari luas wilayah masing-masing kabupaten/ kota,” kata Kurniawan, Humas Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Kota Malang (
http://www.tempointeraktif.com/).
Tidak hanya itu, sejumlah taman kota di Malang telah hilang. Beberapa taman yang diidentifikasi hilang antara lain taman di barat kantor Dinas Pendidikan kota Malang yang beralih fungsi menjadi rumah- toko, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Taman di pertigaan kawasan Mergan pun berubah menjadi SPBU, serta Taman Indrakila di belakang Museum Brawijaya yang berganti menjadi perumahan mewah (
http://www.kompas.com/).
Dengan berkurangnya taman kota dan RTH saat ini dapat menyebabkan terjadi banjir di beberapa wilayah. Kondisi ini sangat bertentangan dengan salah satu visi kota Malang, yaitu berwawasan lingkungan.
Kuznets, seorang ekonom yang meraih nobel, memandang bahwa pembangunan yang tanpa memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan hanya akan menciptakan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam beberapa periode sebelumnya justru akan dapat terkikis oleh dampak-dampak negatif dari pertumbuhan itu sendiri. Analisis Kuznets ini secara teoritis diungkapkan dalam teori Environmental Kuznets Curve (EKC). Dalam teori tersebut ditemukan bahwa seiring dengan perjalanan waktu kegiatan industri di negara berkembang kerap kali merusak kelestarian alam dan lingkungan. Sebaliknya, di negara maju, semakin berkembang kegiatan industri, maka kelestarian lingkungan hidup semakin bisa dijamin keberadaannya.
Gejala ini pun nampak di kota Malang. Perkembangan pembangunan kota Malang ternyata menimbulkan dampak-dampak negatif. Padahal kota Malang telah memiliki banyak peraturan daerah mengenai lingkungan hidup dan tata ruang kota. Peraturan Daerah nomor 14 tahun 2001 mengenai bahan beracun dan berbahaya, Peraturan Daerah nomor 15 tahun 2001 mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Peraturan Daerah nomor 16/2001 mengenai pengendalian pencemaran air, Peraturan Daerah nomor 17 tahun 2001 mengenai konservasi air, Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2001 mengenai RTRW dan Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan bangunan. Semua peraturan ini ditujukan untuk mewujudkan kota Malang yang berwawasan lingkungan.
Hal tersebut menimbulkan suatu kondisi dilematis bagi berbagai pihak, baik pemerintah daerah (Pemda), DPRD, akademisi dan masyarakat. Pembangunan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hanya akan bersifat sementara bila lingkungan sekitarnya tidak memberikan dukungan optimal.
Namun, permasalahan pertumbuhan bangunan di kota Malang ternyata lebih kompleks. Tidak hanya berkutat pada terkikisnya RTH yang dapat menyebabkan banjir, tetapi juga menimbulkan permasalahan pada tata ruang kota.
Banyak kalangan menilai pembangunan fasilitas-fasilitas perbelanjaan di kota Malang tidak lagi sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Suwanto mengakui bahwa pada awalnya banyak pihak yang kurang setuju dengan rencana pembangunan Matos karena lokasinya yang bertepatan dengan wilayah pendidikan. “Tetapi kita cenderung melihat efek positif ke depannya. Gimana masyarakat tidak tertumpuk di pusat kota, perputaran uang terjadi di sini dan juga membantu masyarakat di sekitar sini,” ujar pria yang akrab disapa Wanto. Ketika ditanyai alasan memilih wilayah pendidikan, Wanto mengungkapkan bahwa developer Matos menilai wilayah tersebut memiliki peluang bisnis yang bagus, terlepas apakah lahan hijau (daerah pendidikan) atau tidak.
Dengan kenyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri lagi jika RTRW kota Malang bersifat “fleksibel”. Bahkan terdapat rumor yang mengatakan fleksibelnya RTRW Kota Malang sarat dengan kepentingan politik.
Menanggapi hal tersebut, Peni membantah adanya kepentingan politik. “Perubahan RTRW harus mendapatkan persetujuan dari DPRD. Kalau DPRD setuju berarti rakyat setuju. Nggak ada yang menyimpang,” ujarnya.
Berbeda dengan Peni, Nusul menuturkan bahwa peraturan atau UU merupakan produk kompromi politik dimana memang terdapat kepentingan politik di dalamnya. Sejalan dengan Nusul, Bambang mengakui bahwa seluruh pembangunan bernuansa politis karena ditetapkan oleh orang-orang politik. “Semua pembangunan bernuansa politis tapi dalam tanda kutip untuk meningkatkan perekonomian kerakyatan,” ungkap mantan Ketua Komisi B DPRD kota Malang ini.
Menanggapi hal tersebut, Khusaini mengungkapkan bahwa permasalahan tata ruang kota memang tidak menjadi permasalahan yang besar bila dilihat dari kacamata pertumbuhan ekonomi. Namun, yang harus diperhatikan bagaimana sektor perdagangan ini bersinergi dengan sektor lainnya. “Sektor perdagangan dan retail itu kan cukup besar di Malang. Nah, ini sebenarnya tidak begitu sehat kalau penataannya itu tidak tepat,” ungkap Khusaini.
Penataan ruang kota yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak jangka pendek dan jangka panjang bagi perkembangan kota itu sendiri. Khusaini mencontohkan pembangunan Matos. Dalam jangka pendek pembangunan Matos ternyata menimbulkan social cost bagi masyarakat. Salah satu contohnya, kemacetan yang sering terjadi di sekitar Matos. Pusat-pusat perbelanjaan lainnya juga terkena imbasnya. Contohnya toko-toko kecil di Pecinan dan pusat perbelanjaan di alun-alun yang mulai sepi. Bahkan saat ini omzet dari Mitra, salah satu mall di kota Malang, semakin berkurang. “Jadi sekarang kecenderungannya mengarah pada model kanibal, yang besar akan makan yang kecil. Ini sebenarnya tidak seharusnya terjadi. Pemerintah boleh mengembangkan perdagangan, nggak masalah. Cuma perdagangan itu jangan menimbulkan efek-efek negatif bagi sektor lain,” ujarnya.
Sedangkan dalam jangka panjang, Khusaini mengungkapkan bahwa hal ini akan berdampak negatif bagi perkembangan makro perekonomian kota Malang. Dengan melakukan pembangunan hanya pada daerah-daerah pusat pertumbuhan, mengakibatkan daerah lain yang belum menjadi pusat pertumbuhan tidak akan pernah digarap. “Justru yang bagus itu, membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah yang belum tumbuh, tapi syaratnya pemerintah harus menyediakan infrastruktur ke sana. Sehingga walaupun jauh, orang pasti ke sana karena nggak sulit aksesnya,” tutur pria lulusan Georgia State University.
Sebuah penataan ruang kota sebenarnya dibentuk untuk menjaga keserasian dan keseimbangan antara pembangunan yang dilakukan dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dipaparkan oleh DR. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi dalam acara Diseminasi dan Diskusi Program-Program Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah. Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, ruang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang perlu dipelihara kelestariannya. Untuk itu, diperlukan pendekatan wilayah sebagai strategi pengembangan ruang yang mengatur hubungan yang harmonis antara sumber daya alam, buatan, dan manusia agar kinerja ruang meningkat untuk kesejahteraan masyarakat.
Penataan ruang kota Malang pun seharusnya demikian. Tata ruang kota Malang sebaiknya lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakatnya. Bukan membentuk penataan ruang yang mengarah pada model kanibal.
Dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, Pemkot Malang sebaiknya mengembangkan pembangunan yang sesuai dengan perilaku masyarakatnya. Hal ini berpijak pada teori model of and model for yang dicetuskan oleh Cliffort Geertz. Dalam teori tersebut Geertz berpendapat bahwa model of, membantu orang memahami apa dasar dari realitas yang sebenarnya dengan menyediakan penggambaran tentang realitas yang dapat dipahami, dan model for, memiliki fungsi untuk mendiktekan tindakan manusia dengan menyediakan denah (blueprint) tentang bagaimana semestinya sesuatu dilakukan. Berdasarkan teori tersebut dalam melakukan pembangunan kota, Pemkot seharusnya mempertimbangkan model of dan model for dari masyarakatnya. Pembangunan yang dilakukan seharusnya benar-benar mencerminkan perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, jika Pemkot Malang mengembangkan sektor perdagangan, hal itu harus sejalan dengan perilaku masyarakat Malang yang konsumtif.
Sayangnya, data dari BPS kota Malang menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran masyarakat kota Malang belum mencerminkan masyarakat yang konsumtif. Pada tahun 2004 tercatat kelompok pengeluaran perkapita/bulan Rp 200.000-299.999 mencapai persentase tertinggi sebesar 34,91%. Sedangkan kelompok pengeluaran perkapita/bulan lebih dari Rp 500.000 hanya mencapai 11,11 persen. Kondisi ini kurang seimbang dengan laju pertumbuhan sektor perdagangan yang cukup besar.

Lalu, bagaimana sekarang?
Memang cukup sulit untuk mengembangkan pembangunan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan sekitar. Kerjasama dari berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam hal ini. Nusul pun berpendapat demikian. “Kalau berbicara mengenai lingkungan hidup sebenarnya bukan cuma untuk pemerintah tapi punya kita semua,” ujarnya.
Saat ini masih banyak perbaikan yang harus dilakukan. Nusul mengungkapkan, tahun depan Wasbandal berencana menerapkan pengenaan denda terhadap pembuangan sampah sembarangan di daerah-daerah tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian dan kebersihan Kota Malang. Di sisi lain, Suwanto pun menuturkan bahwa untuk menanggulangi social cost yang ditimbulkan, pihaknya berencana untuk menambah lahan parkir Matos dan membuat jalan tembus. Tidak hanya itu, mereka juga menyelenggarakan pasar subuh untuk menyediakan lahan bagi para pedagang kecil dalam menjajakan barangnya.
Walaupun demikian, peran lebih dari pemerintah juga sangat dibutuhkan. Keputusan yang diambil oleh Pemkot saat ini cenderung lebih mementingkan banyaknya investasi yang masuk tanpa diimbangi oleh upaya menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan kondisi sekarang, kebanyakan penanam modal bergerak pada sektor perdagangan. Hal ini secara otomatis akan memacu pertumbuhan fasilitas-fasilitas perbelanjaan yang cukup pesat. Namun, apakah pesatnya pembangunan sektor perdagangan saat ini merupakan jalan yang tepat dalam memajukan perekonomian kota Malang?
Prof. Dr. A. Mukhadis, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Negeri Malang (LP3-UM) mengungkapkan bahwa seharusnya prioritas utama pembangunan kota Malang adalah sektor pendidikan. Sedangkan sektor industri, perdagangan, dan sektor lainnya menjadi laboratorium bagi pendidikan.
Sebagai kota pendidikan internasional, Malang memang seharusnya lebih menitikberatkan prioritas pembangunan pada sektor pendidikan. Hal ini didukung oleh ketertarikan masyarakat untuk memilih Malang sebagai kota tujuan menuntut ilmu. Seperti yang diungkapkan Pembantu Direktur I Politeknik Negeri Malang, Luchis Rubianto dalam surat kabar Surya. Kondisi ruwetnya lalu lntas Surabaya-Malang karena dampak Lapindo tidak mengurangi daya tarik kota Malang sebagai tempat tujuan belajar. “Apalagi suasana belajar dan kondisi alam wilayah Malang yang lebih sejuk sehingga cukup menunjang bagi mereka yang ingin kuliah di Malang,” terangnya.
Sayangnya, respon positif ini belum dapat ditanggapi dengan baik oleh Pemkot. Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBD belum mencapai 20 persen. Maka tak heran, penyediaan gedung-gedung maupun fasilitas pendidikan yang representatif bagi penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional belum memadai hingga saat ini. Ironisnya, julukan kota pendidikan internasional sudah cukup lama disandang oleh Kota Malang.
Khusaini pun menambahkan bahwa sebenarnya sektor pendidikan memberikan multiplier effect terhadap sektor yang lain. Salah satu contohnya sektor perdagangan. “Menjamurnya kost, ruko, real state di Malang disebabkan oleh sektor pendidikan. Artinya sebenarnya sektor pendidikan juga bagus untuk dikembangkan. Cuma hal itu tidak nampak secara langsung pada kontribusi sektoral di PDRB. Walaupun sebenarnya terdapat multiplier effect dari segi perekonomian,” terangnya.
Dengan demikian, pengembangan sektor pendidikan seharusnya menempati prioritas utama dalam pembangunan kota Malang. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai fasilitator dan penyedia anggaran bagi penyediaan fasilitas publik pada sektor pendidikan sangat diperlukan. Semuanya ini diarahkan untuk mewujudkan kota Malang sebagai kota pendidikan.
Namun, sektor pendidikan jelas tidak dapat berdiri sendiri. Sektor ini memerlukan supporting sector, yaitu industri dan perdagangan. Sektor industri dan perdagangan dapat menjadi pendukung bagi sektor pendidikan dalam penyediaan lapangan usaha. Pembangunan industri serta pusat-pusat perbelanjaan baru diharapkan menjadi penyedia berbagai kebutuhan yang muncul sebagai akibat dari adanya sektor pendidikan dan bukan sebaliknya.
Mengenai bagaimana pengemasan sektor-sektor tersebut, Khusaini menjelaskan bahwa masing-masing sektor tidak harus saling dibenturkan. “Misalkan pemerintah membangun Matos di tengah-tengah kampus, itu sama dengan membenturkan. Jadi, kalau kita mengembangkan sebuah sektor seharusnya pada tempat atau posisi yang benar. Jangan menggusur sektor yang sudah ada atau jangan menimbulkan peluang menggusur sektor yang sudah ada. The right sector in the right place,” ujarnya.
Penataan yang tepat pada semua sektor memang sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar dalam perkembangan seluruh sektor dapat berjalan bersama-sama dan saling mendukung. Dan pada akhirnya, sektor-sektor tersebut dapat menunjang kesejahteraan masyarakat kota Malang.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Bambang Brodjonegoro pun mengungkapkan bahwa hal yang paling penting dalam pembangunan ekonomi daerah adalah dampak dari pembangunan ekonomi itu sendiri terhadap masyarakat lokal. Hal tersebut nyata dalam bentuk bertumbuhnya output perekonomian, penciptaan lapangan kerja baru dalam jumlah besar, serta perbaikan pendapatan masyarakat secara signifikan. Menurut Bambang, dengan tidak menjadikan APBD sebagai “panglima” pembangunan ekonomi daerah, upaya kepala daerah menerapkan good governance pun menjadi lebih mudah. Sebab, APBD akhirnya diarahkan untuk sebesar-besarnya manfaat masyarakat lokal dalam bentuk pelayanan publik yang memadai (
http://www.wartaekonomi.com/).
Khusaini juga mengungkapkan hal yang senada. Ia menuturkan bahwa kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan PAD ataupun PDRB. “Kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana sih meningkatkan PAD dan PDRB. Tapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan sosial. Artinya mengembangkan sektor apapun, dampaknya harus diperhatikan sehingga gak ngawur karena ada efek-efek cost. Dalam sektor publik harus ada cost and benefit analysis,” tutup Khusaini.